News Update :

Powered by Blogger.

Manhaj Feed

AQIDAH feed

Doa dan Dzikir Feed

AMALAN Feed

Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?

Friday, April 19, 2013


Sungguh sayang sungguh malang, umat Islam di masa ini bak buih di lautan, banyak jumlahnya namun tercerai-berai. Heran bukan kepalang melihat fenomena ini, kita semua tahu bahwa Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanya 1 macam, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Ku” [Al-Anbiyaa : 92]. Namun mengapa hari ini Islam menjadi bermacam-macam? Aneh bukan?
Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedari dulu telah memperingatkan hal ini: “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah? ; Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Namun lihatlah, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa ada 1 golongan yang selamat dari perpecahan yaitu orang-orang yang beragama dengan menempuh jalan Islam sebagaimana jalan Islam yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Niat itu Amalan Hati


Suatu amalan ibadah tidaklah akan diterima kecuali  jika terkumpul dua syarat, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berkaitan dengan amalan hati yaitu niat, sedangkan ittiba’ adalah berkaitan dengan amalan dzahir seseorang, apakah ia sesuai tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah atau tidak. Dengan kata lain, niat ikhlas adalah tolak ukur ibadah hati dan ittiba’ur rasul adalah tolak ukur ibadah dzahir.
Banyak orang yang setelah mengenal kebenaran, tahu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, mereka bersemangat memperbaiki amalan dzahir agar mencocoki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Tidaklah dipungkiri bahwa hal ini merupakan amalan yang baik. Akan tetapi sayangnya kita sering kurang memperhatikan masalah yang berhubungan dengan hati, yaitu niat. Sehingga tema ini kami angkat dalam edisi ini.

Keutamaan dan Adab-Adab Dzikrullah


Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzaab: 41).
Ibnu Katsir rahimahullaah berkata, “Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan sebuah kewajiban atas hamba-Nya, melainkan menyebutkan batas-batas kewajiban tersebut dan memberikan ‘udzur bagi orang-orang yang tidak mampu melakukannya, kecuali dzikir. Allah tidak membatasi kewajiban berdzikir dengan batasan tertentu dan tidak pula memberi ‘udzur bagi orang yang meninggalkannya, kecuali orang yang tidak sengaja meninggalkannya.
Allah berfirman (yang artinya),“Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring.” (QS. An-Nisaa’: 103). Pada waktu malam dan siang, di daratan dan di lautan, ketika sedang menetap maupun dalam perjalanan, di waktu kaya maupun miskin, sedang sehat ataupun sedang sakit, dalam keramaian maupun dalam kesendirian, dan dalam segala hal.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Keutamaan Para Shahabat Rasulullah


Bismillahirrahmanirrahim
Jika kita bertanya pada seseorang, siapakah yang paling kenal dengan si fulan? Mayoritas orang pasti akan menjawab keluarganya, yaitu istrinya. Selain itu akan muncul jawaban shahabat dekatnya. Sekarang jika ada yang bertanya kepada kita, siapakah yang paling mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ya, tentu para shahabat beliau.
Lantas, apa definisi dari shahabat Nabi? Yang dimaksud dengan shahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi secara langsung, beriman kepada Nabi dan mati dalam keadaan beriman. Jika ia beriman kepada Nabi namun tidak bertemu Nabi, maka hal itu tidak disebut dengan shahabat. Misalnya adalah Raja Najasyi. (Ta’liq Mukhtashar ‘ala matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Mencintai para shahabat Nabi adalah salah satu pokok di antara pokok-pokok seorang muslim yang benar aqidahnya. Karena banyak sekali ayat dari Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memuji para shahabat. Dan sudah sepantasnya, menjadi kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk mencintai dan mendoakan kebaikan kepada para shahabat Nabi.

Perkataan 4 Imam Madzhab di dalam Mengikuti Sunnah

Thursday, April 18, 2013


Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah-


Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. (QS. Al-Araf :3)

Sikap Hikmah dalam Berdakwah (Bag-2 Habis)


CONTOH-CONTOH PRAKTEK AKHLAK MULIA YANG MENENTUKAN KEBERHASILAN DAKWAH
4. Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
“وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ”
“Ucapan yang baik adalah shadaqah”. HR. Bukhari (hal. 606 no. 2989) dan Muslim (VII/96 no. 2332).
Kita bisa mengambil suri tauladan dari metode Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam dalam menasehati para sahabatnya.
Abu Umamah bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallamseraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”. Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, “Diam kamu, diam!”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.

Sikap Hikmah dalam Berdakwah (Bag-1)


Contoh-contoh Praktek Syar’i

PERINTAH UNTUK BERAKHLAK MULIA

Begitu banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya Firman Allah ta’ala tatkala memuji Nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wassallam:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassallam) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. [QS. Al-Qalam: 4]
Juga sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Berakhlak mulialah dengan para manusia”. HR. Tirmidzy (hal. 449 no. 1987) dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.

TAUHID

Wednesday, April 17, 2013


Pengertian tauhid

Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa kata “tauhid”, secara bahasa, adalah kata benda (nomina) yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada–yuwahhidu, yang bermakna ‘menunggalkan sesuatu’. Sedangkan berdasarkan pengertian syariat, “tauhid” bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. (Al-Qaul Al-Mufid, 1:5)
Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Dzat dan sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha Esa dalam urusan peribadahan, tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya. Tauhid yang diserukan oleh para nabi dan rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyahuluhiyah, danasma’ wa shifat). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barang siapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya maka hal itu tidak lain terjadi karena dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama. (Ibthal At-Tandid, hlm. 5–6)
Muhammad bin Abdullah Al-Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid, yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). “La ilaha” adalah penafian/penolakan, maksudnya: kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan “illallah” adalah itsbat/penetapan, maksudnya: kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah. (At-Taudhihat Al-Kasyifat, hlm. 49)

Macam-macam tauhid

Tauhid terbagi menjadi tiga macam:
Pertama: Tauhid rububiyah.
Artinya, mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal perbuatan-Nya, seperti: mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan perbuatan lain yang merupakan perbuatan-perbuatan khusus Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim haruslah meyakini bahwa Allahsubhanahu wa ta’ala tidak memiliki sekutu dalam rububiyah-Nya.
Kedua: Tauhid uluhiyah.
Artinya, mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam jenis-jenis peribadahan yang telah disyariatkan, seperti: salat, puasa, zakat, haji, doa, nazar, menyembelih, rasa harap, cemas, takut, dan jenis ibadah lainnya. Mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal-hal tersebut dinamakan “tauhid uluhiyah”.
Tauhid jenis inilah yang dituntut oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hamba-Nya, karena terhadap tauhid jenis pertama, yaitu tauhid rububiyah, setiap orang (termasuk jin) pun mengakuinya, sekalipun dia orang musyrik yang menjadi musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allahsubhanahu wa ta’ala, yang artinya, “Dan sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka (tentang) siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, ‘Allah.’ Maka, bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf:87)
Juga firman Allah, yang artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai tujuh langit dan mempunyai ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’” (QS. Al-Mukminun:86–87)
Masih banyak ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik meyakini tauhid rububiyah. Akan tetapi, sebenarnya yang dituntut dari mereka adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah. Jika mereka mengikrarkan tauhid rububiyah maka seharusnya mereka juga mengakui tauhid uluhiyah (ibadah).
Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (diutus untuk) menyeru mereka agar meyakini tauhid uluhiyah. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala, yang artinya, “Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul kepada tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut!” Lalu, di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah dipastikan sesat. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul).” (QS. An-Nahl:36)
Setiap rasul menyeru manusia agar meyakini tauhid uluhiyah. Adapun tentang tauhid rububiyah, karena itu merupakan fitrah, maka belumlah cukup jika seseorang hanya meyakini tauhid rububiyah saja.
Ketiga: Tauhid asma’ wa shifat
Yaitu, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya maupun yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,serta meniadakan kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang ditiadakan oleh Allah terhadap diri-Nya, dan segala yang ditiadakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (terhadap diri Allah).
Tiga jenis tauhid inilah yang wajib diketahui oleh seorang muslim, lalu hendaklah dia secara bersungguh-sungguh mengamalkannya. (Al-Qaul Al-Mufid)
Ada juga ulama yang membagi tauhid menjadi dua macam. Namun, hakikat pembagiannya sama dengan pembagian menjadi tiga. Menurut ulama yang membagi tauhid menjadi dua, tauhid diperinci menjadi:
Pertama: Tauhid al-ilmi al-khabari
Artinya, mengesakan Allah dalam nama, sifat, dan semua perbuatan Allah, yang Dia beritakan melalui Alquran dan Sunah. Karena itu, tauhid ini disebut “tauhid al-ilmi al-khabari” karena tauhid ini ditetapkan melalui jalur ilmu dankhabar (berita).
Kedua: Tauhid al-iradi ath-thalabi
Artinya, tauhid yang berisi perintah untuk mengesakan Allah dalam peribadahan dan meninggalkan segala kesyirikan.
Jika dikaitkan dengan tiga jenis tauhid di atas maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat masuk dalam jenis tauhid al-ilmi al-khabari. Sedangkan, tauhid uluhiyah sama dengan tauhid al-iradi ath-thalabi.
Tauhid dan iman kepada Allah
Dr. Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa hakikat iman kepada Allah adalah tauhid itu sendiri, sehingga iman kepada Allah itu mencakup ketiga macam tauhid, yaitu tauhid rububiyahuluhiyah, danasma’ wa shifat. (Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hlm. 29)
Di samping itu, keimanan seseorang kepada Allah tidak akan dianggap benar kalau hanya terkait dengan tauhidrububiyah saja dan tidak menyertakan tauhid uluhiyah. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kaum musyrikin dahulu yang juga mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi dan mengajak mereka untuk bertauhid. Hal itu dikarenakan mereka tidak mau melaksanakan tauhiduluhiyah.
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakikat dan kedudukan tauhid. Padahal, tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu, sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakikat dan kedudukan tauhid. Hakikat tauhid adalah mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut ini penjelasannya.
Mengesakan Allah dalam rububiyah-Nya
Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudarat, dan lainnya, yang merupakan kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum ateis, pada kenyataannya menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (QS. Ath-Thur:35–36)
Meskipun demikian, pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam, karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy, yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, dalam keadaan Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mukminun:86–89)
Yang amat sangat menyedihkan adalah kebanyakan kaum muslimin di zaman sekarang menganggap bahwa seseorang sudah dikatakan beragama Islam jika telah memiliki keyakinan bahwa Allahlah satu-satunya Sang Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pemilik dan Pengatur alam semesta.
Mengesakan Allah dalam uluhiyah-Nya
Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan, seperti salat, doa, nazar, menyembelih, tawakal, taubat, harap, cinta, takut, dan berbagai macam ibadah lainnya. Kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu, yang artinya, “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya, ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad:5)
Dalam ayat ini, kaum musyrikin Quraisy mengingkari bahwa tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.
Mengesakan Allah dalam nama dan sifat-Nya
Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Alquran dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga meyakini bahwa hanya Allahlah yang pantas untuk memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Alquran dan hadits tersebut (yang dikenal dengan “asmaul husna”), sebagaimana firman-Nya, yang artinya, “Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa. Hanya bagi Dialah ‘asmaul husna’.” (QS. Al-Hasyr:24)
Seseorang baru dapat dikatakan sebagai muslim yang tulen jika dia telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berbuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik.
Kedudukan tauhid
Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama ini. Oleh karena itu, hal ini penting untuk dibahas, mengingat banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim. Padahal, pada kenyataannya, mereka menujukan sebagian bentuk ibadah mereka kepada selain Allah, baik itu kepada wali, orang saleh, nabi, malaikat, jin, dan sebagainya.
Tauhid adalah tujuan penciptaan manusia
Allah berfirman, yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:56)
Maksud dari kata “menyembah” di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala macam bentuk ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan agar menghabiskan waktu untuk bermain-main dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat suatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (QS. Al-Anbiya:16–17)
Allah juga berfirman, yang artinya, “Maka, apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mukminun: 115)
Tauhid adalah tujuan diutusnya para rasul
Allah berfirman, yang artinya, “Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul pada tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut itu.’” (QS. An-Nahl: 36).
Makna dari ayat ini adalah bahwa para rasul, mulai dari Nabi Nuh sampai nabi terakhir–nabi kita, Muhammadshollallahu ‘alaihi wa sallam,diutus oleh Allah agar mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak memepersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan pertama
Allah berfirman, yang artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Juga berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahayamu. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa`: 36)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Hal pertama yang Dia perintahkan adalah untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Perintah ini didahulukan daripada berbuat baik kepada orangtua serta manusia-manusia pada umumnya. Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya, terutama hak beribadah hanya kepada Allah.
Tauhid adalah poros perbaikan umat
Dakwah perbaikan umat manusia yang diserukan oleh para rasul itu adalah “dakwah tauhid”, memerangi syirik, yang mana kesyirikan adalah suatu kemungkaran dan kezaliman yang paling besar di muka bumi ini. Tauhid yang diserukan oleh para nabi dan rasul adalah tauhid uluhiyah, yaitu mentauhidkan/mengesakan Allah dalam ibadah, artinya memurnikan dan memperuntukkan ibadah untuk Allah semata, bukan untuk yang selain Allah. Di sinilah letak seruan mereka yang paling banyak ditentang dan diingkari oleh kaum mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul kepada tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut!” Lalu, di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah dipastikan sesat. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul). (QS. An-Nahl: 36)
Tauhid dalam Alquran
Ibnul Qayyim, dalam bukunya Madarijus Salikin, 3:450, menjelaskan bahwa semua isi Alquran mengandung tauhid dan mengajak untuk bertauhid, karena kandungan Alquran tidak lepas dari lima hal:
  1. Berita tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, dan informasi lainnya. Ini termasuk dalam jenis tauhid al-ilmi al-khabari, yaitu pemahaman dan berita tentang Allah yang bersumber dari dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah.
  2. Ajakan untuk beribadah kepada Allah semata dan melepaskan segala sesembahan selain Allah. Ini termasuk dalam jenis tauhid ath-thalabi (tauhid yang berisi tuntutan untuk beramal) atau disebut juga “tauhid uluhiyah”.
  3. Perintah dan larangan, yang merupakan tuntutan untuk taat kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah hak dan konsekuensi dari tauhid.
  4. Berita tentang ahli tauhid, para nabi dan orang-orang saleh, kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka, serta janji pahala dan kebaikan yang akan Allah berikan kepada ahli tauhid di dunia dan akhirat. Ini adalah balasan yang Allah berikan kepada ahli tauhid.
  5. Cerita tentang orang-orang kafir dan hukuman yang Allah berikan kepada mereka, baik di dunia maupun akhirat. Jenis kelima ini masuk dalam kategori hukuman dan siksa bagi orang yang ingkar dan tidak mau bertauhid.

SYIAH tidak sama dengan ISLAM


Dikalangan kita Banyak yang mengatakan bahwa Syiah itu bagian dari islam ternyata SALAH.
Ternyata syiah bukan islam, Syiah Punya agama tersendri.
Berikut ini adalah perbedaan yang sangat menonjol antara agama islam dengan agama syi’ah, yang dengannya mudah-mudahan kaum muslimin dapat mengetahui hakekat sebenarnya ajaran agama syi’ah.
1. Pembawa Agama Islam adalah Muhammad Rasulullah.
1. Pembawa Agama Syi’ah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ Al Himyari. [Majmu' Fatawa, 4/435]
2. Rukun Islam menurut agama Islam:
1. Dua Syahadat
2. Sholat
3. Puasa
4. Zakat
5. Haji
[HR Muslim no. 1 dari Ibnu Umar] 
2. Rukun Islam ala agama Syi’ah:
1. Sholat
2. Puasa
3. Zakat
4. Haji
5. Wilayah/Kekuasaan
[Lihat Al Kafi Fil Ushul 2/18]
3. Rukun Iman menurut agama Islam ada 6 perkara, yaitu:
1. Iman Kepada Allah
2. Iman Kepada Malaikat
3. Iman Kepada Kitab-Kitab
4. Iman Kepada Para Rasul
5. Iman Kepada hari qiamat
6. Iman Kepada Qadha Qadar.
3. Rukun Iman ala Agama Syi’ah ada 5 Perkara, yaitu:
1. Tauhid
2. Kenabian
3. Imamah
4. Keadilan
5. Qiamat
4. Kitab suci umat Islam Al Qur’an yang berjumlah 6666 ayat (menurut pendapat yang masyhur).
4. Kitab suci kaum Syi’ah Mushaf Fathimah yang berjumlah 17.000 ayat (lebih banyak tiga kali lipat dari Al Qur’an milik kaum Muslimin).[Lihat kitab mereka Ushulul Kafi karya Al Kulaini 2/634]
5. Adzan menurut Agama Islam:
(Allōhu akbar) 4 kali
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
(Allōhu akbar) 2 kali
(Lā ilāha illallōh) 2 kali
Lihat Video Adzan Agama Islam  
5. Adzan Ala Agama Syi’ah:
(Allōhu akbar) 4 kali
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
(Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullōh) 2 kali
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
(Hayya ‘alā khoiril ‘amal) 2 kali
(Allōhu akbar) 2 kali
(Lā ilāha illallōh) 2 kali
 Lihat Video Adzan Agama Syiah
6. Islam meyakini bahwa sholat diwajibkan pada 5 waktu.
6. Agama Syi’ah meyakini bahwa sholat diwajibkan hanya pada 3 waktu saja.
7. Islam meyakini bahwa sholat jum’at hukumnya wajib. [QS Al Jumu'ah:9]
7. Agama Syi’ah meyakini bahwa sholat jum’at hukumnya tidak wajib.
8. Islam menghormati seluruh sahabat Rasulullah dan meyakini mereka orang-orang terbaik yang digelari Radhiallohu ‘Anhum oleh Allah. [QS At Taubah:100]
8. Agama Syi’ah meyakini bahwa seluruh sahabat Rasulullah telah kafir (Murtad) kecuali Ahlul Bait (versi mereka), salman Al Farisi, Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari. [Ar Raudhoh Minal Kafi Karya Al Kulaini 8/245-246]
9. Islam meyakini bahwa Abu Bakar adalah orang terbaik dari umat ini setelah Rasulullah, kemudian setelahnya Umar bin Al Khatthab, lalu Utsman bin ‘Affan, lalu ‘Ali bin Abi Thalib.
9. Agama Syi’ah meyakini bahwa orang terbaik setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib, adapun Abu Bakar dan Umar bin Al Khatthab adalah dua berhala quraisy yang terlaknat. [Ajma'ul Fadha'ih karya Al Mulla Kazhim hal. 157].
10. Islam meyakini bahwa Abu bakar adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah.
10. Agama Syi’ah meyakini bahwa orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib.
11. Islam meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama yang sah.
11. Agama Syi’ah memposisikan Abu Bakar sebagai perampas kekhalifahan dari ‘Ali bin Abi Thalib
12. Islam meyakini bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin Al ‘Ash, Abu Sufyan termasuk sahabat Rasulullah 
12. Agama Syi’ah meyakini bahwa mereka pengkhianat dan telah kafir (Murtad) dari Islam.
13. Tata shalat agama Islam Lihat Videonya 
13. Tata shalat agama Syiah Lihat Videonya
Perhatian: Semua yang kami sampaikan ini bersumberkan dari kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan dan sebagiannya dari situs resmi mereka.

Sahabat Nabi Muhammad sebagai Rujukan Manhaj dalam Islam


Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum sebagai rujukan dalam memahami Islam

“Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (setan dan sesembahan selain Allah) yaitu dengan tidak menyembahnya serta kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; karena itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku—(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar: 18)

Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib

Beliau adalah putra paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekaligus suami putri beliau, Fatimah radhiallahu ‘anha. Ali termasuk kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama masuk Islam. Kunyah beliau: Abu Hasan atau Abu Thurab.
Beliau dilahirkan sepuluh tahun sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dididik dalam asuhan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau selalu mengikuti perang dan sering ditugasi membawa bendera. Hanya saja, beliau tidak mengikuti Perang Tabuk. Beliau memiliki banyak keutamaan, yang tidak dimiliki orang lain.

Utsman bin Affan Khalifah yang Terzalimi


Beliau adalah Abu Abdillah Utsman bin Affan bin al-Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keempat yaitu Abdu Manaf, di masa jahiliah beliau dipanggil Abu Amr namun tatkala dari istri beliau yaitu Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlahir seorang laki-laki yang diberi nama Abdullah lalu beliau berganti menjadi Abu Abdillah, dan beliau masyhur dengan julukan dzu nurain (pemilik dua cahaya).

Di masa jahiliyah Utsman bin Affan adalah seorang yang terpandang dan dimuliakan oleh kaumnya. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat pemalu, hartawan, dan pemilik petuah yang didengar. Karena itulah ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh kaumnya. Ia tidak pernah sujud kepada sebuah patung pun, tidak pula berbuat keji, tidak pernah meminum khamar baik sebelum maupun setelah Islam. Utsman bercerita, “Aku tidak pernah bernyanyi, tidak pula panjang angan-angan, aku pun tidak pernah menyentuh dzakarku dengan tangan kananku setelah aku gunakan tangan itu untuk membai’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak pernah minum khamar di masa jahiliah maupun setelah Islam.”

Umar bin Khaththab


Biografi Umar bin Khattab

Beliau adalah Abu Hafsh Umar al-Faruq bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Adi bin Ka’ab bin Lu’aiy bin Ghalib al-Qurasy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek keempat yaitu Ka’ab bin lu’aiy bin Ghalib. Beliau digelari “al-Faruq” karena beliaulah yang menampakkan Islam di Mekah, dan karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan secara jelas antara kekufuran dan kebatilan. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, “Orang pertama yang berani menampakkan Islam di makkah adalah Umar bin Khattab.”

Beliau dilahirkan tiga belas tahun setelah Tahun Gajah. Beliau bertipe keras dan pemberani, berkulit putih, berbadan tinggi tegap, bertubuh besar dan kuat, apabila berbicara didengar dan apabila memukul menyakitkan. Di masa jahiliah, ia dididik oleh sang ayah, al-Khattab, dengan didikan yang keras. Ia dibebani untuk menggembala untanya setiap hari. Hari-hari yang melelahkan dan memberatkan sering ia lalu, dan ia pun sering mendapat pukulan bila pekerjaannya tersebut ada yang kurang. Hal itu semakin menambah kekerasan hati Umar.

Tokoh Tabi’in Syuraih al-Qadhi Hakim yang Bijak

Tuesday, April 16, 2013


Kisah Tabi’in Syuraih al-Qadhi

Hari itu, amirul mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu membeli seekor kuda dari seorang dusun. Setelah membayarnya, beliau menaiki kuda tersebut dan bermaksud pulang menuju rumahnya. Namun tak seberapa jauh dari tempat itu, tiba-tiba kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan. Maka Umar membawanya kembali kepada si penjual seraya berkata,
Umar: “Aku kembalikan kudamu, karena ternyata dia cacat.”
Penjual: “Tidak wahai amirul mukminin, tadi aku menjualnya dalam keadaan baik.”
Umar: “Kita cari seseorang yang akan memutuskan permasalahan ini.
Penjual: “Aku setuju, aku ingin Syuraih bin al-Harits al-Kindi menjadi hakim bagi kita berdua.”
Umar: “Mari.”

Haruskah Kita Bermadzhab?


Bermadzhab  dalam Islam

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Saya mau bertanya, haruskah kita fokus ke satu madzhab?
Dari: Fajar

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Bismillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Pertama, Pertanyaan semacam ini bagi sebagian kalangan mungkin layak dikatakan abang-abang lambe. Betapa tidak, banyak diantara kita yang mempertanyakan hal ini, namun sejatinya belum bisa memahami konsekuensinya. Kebanyakan orang yang kebingungan harus memilih madzhab tertentu, dia sendiri sebenarnya tidak memahami isi madzhab-madzhab itu.

Remaja Feed

Nasehat feed

Sentu Hatimu Feed

AL QURAN Feed

JALAN KEBENARAN Feed

 

© Copyright BERSATU DALAM ISLAM 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.