News Update :

Powered by Blogger.

Manhaj Feed

AQIDAH feed

Doa dan Dzikir Feed

AMALAN Feed

Surat Jawaban Sang Anak Atas Jeritan Hati Sang Ibu

Sunday, September 29, 2013

Segala puji bagi Allah… yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.
Shalawat serta salam hamba -yang lemah ini- panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu…
Aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka… aku telah membaca semuanya… tidak ada satu huruf pun yang aku sisakan.
Tapi tahukah engkau, wahai Ibu… bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’… Semenjak sholat isya’… aku duduk di pintu kamar, aku buka surat yang engkau tuliskan untukku… dan aku baru selesaikan membacanya setelah ayam berkokok… setelah fajar terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan…

Ku titip Surat ini Untukmu ( surat dari seorang Ibu kepada anaknya )

Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Allah ta’ala
Segala puji ku panjatkan ke hadirat Allah ta’ala, yang telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.
Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.

Jangan Putus Asa karena Allah Mengampuni Semua Dosa

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Akhi muslim saudara-saudaraku yang beriman yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Siapa diantara kita yang tidak pernah berbuat dosa? siapa diantara kita yang tidak pernah melanggar perintah Allah subhanahu wata’ala? setiap kita pasti berbuat dosa, dan ini telah dinyatakan oleh nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:
…كل ابن آدم خطاء
Setiap anak adam خطاء, dan خطاء dalam bahasa arab artinya senantiasa terjerumus dalam dosa, akan tetapi kata nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:
وخير الخطَّائين التوّابون
Dan orang-orang yang berdosa yang terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin mengajak saudaraku untuk merenungkan tentang luasnya rahmat Allah subhanahu wata’ala, agar jangan sampai terbetik sedikitpun dalam hati kita, keraguan untuk kembali kepada Allah, keraguan untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Karena kita sama-sama tau, sayapun menyadari , anda pun menyadari. Seringkali iblis datang membisikkan dalam hati kita, membuat kita ragu untuk kepada Allah subhanahu wata’ala, membisikkan kepada kita bahwasanya dosa kita terlalu besar, bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa yang telah kita lakukan, ketahuilah bahwasanya itu semua hanyalah tipuan iblis.

Air Mata Takwa

Sesungguhnya, menangis bukanlah monopoli kebutuhan anak kecil dan kaum wanita. Dalam agama Islam yang mulia ini, sebuah tangisan kadang kala sangat dibutuhkan oleh siapa saja, baik kaum pria maupun wanita. Memang, tetesan air mata manusia menyimpan beribu makna. Air mata yang diteteskan oleh seorang hamba karena takut kepada Rabbnya memiliki makna dan nilai yang sangat tinggi di sisi-Nya. Bagaimana tidak, tangisan seperti itu dapat menyelamatkan dirinya dari jilatan api Neraka yang menyala-nyala.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ
وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ
“Tidak akan masuk Neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, hingga air susu dapat kembali kepada ambingnya (kantong kelenjar susu binatang ternak), dan tidak akan berkumpul antara debu medan jihad fii sabiilillaah dengan asap Neraka Jahannam.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1333; an-Nasa-i, no. 2911 dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam al-Misykaah, no. 3828)

Pria yang Tidak Lalai dari Ibadah


Inilah sifat pria yang tidak lalai dari mengingat Allah. Kesibukan dunia mereka tidak membuat mereka berpaling dari ketaatan dan perintah Allah. Perdagangan dan jual beli pun tidak membuat mereka jauh dari Allah. Ketika ada panggilan shalat, mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Dan lisan mereka tidaklah lepas dari dzikrullah. Berbeda dengan anak muda sekarang yang kesehariannya telah lalai dari dzikir. Tangannya sudah sibuk dengan HP, kesehariannya dengan chating, dan dzikir pun amat sedikit, apalagi seringnya melalaikan shalat.

Allah Ta’ala berfirman,
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)

Bukan Pria Idaman

Manusia idaman sejati adalah makhluk langka. Begitu banyak ujian dan rintangan untuk menjadi seorang idaman sejati. Kebalikannya, yang bukan idaman malah tersebar ke mana-mana. Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Siapakah pria yang tidak pantas menjadi idaman dan tambatan hati? Apa saja ciri-ciri mereka? Mudah-mudahan -dengan izin Allah- kami dapat mengungkapkannya pada tulisan yang singkat ini.
Ciri Pertama: Akidahnya Amburadul
Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak, maka dukun pun bertindak. Jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. Ingain buka usaha pun ia memakai pelarisan. Jika berencana nikah, harus menghitung hari baik terlebih dahulu. Yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah mempercayai ramalan bintang agar semakin PD dalam melangkah.
Inilah ciri pria yang tidak pantas dijadikan idaman. Akidah yang ia miliki sudah jelas adalah akidah yang rusak.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman.” (Al Fawaid)

Hari Ini Engkau Dilupakan!

Saturday, September 28, 2013

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhuma, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang hamba. Kemudian dikatakan kepadanya: “Bukankah telah Aku berikan kepadamu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak, tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku pada hari ini?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Allah pun berkata, “Kalau begitu pada hari ini Aku pun melupakanmu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata: hadits sahih gharib, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)

Mari Merapatkan Shaf, Agar Shalat Berjama’ah Kita Menjadi Sempurna

Thursday, September 26, 2013

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul-Nya, para keluarga, sahabat, dan umatnya yang selalu istiqomah hingga hari akhir.
Salah satu perkara yang sebenarnya mudah kita lakukan dan itu merupakan hal yang di sunnahkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah merapatkan shaf dan meluruskan shaf ketika shalat berjama’ah. Kebanyakan masyarakat di sekitar kita, banyak yang kurang memperhatikan hal ini, sangat banyak di antara saudara-saudara kita yang masih belum merapatkan shaf dengan baik di dalam shalat, padahal perkara ini merupakan salah satu petunjuk dan syari’at yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebagaimana yang terdapat di dalam sebuah hadits shahih, dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِLuruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat (berjama’ah pent.)” (H.R Muslim no 433, dengan derajat shahih)

Beginilah Shalat Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu

Beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk kalangan orang-orang shalih, sekaligus salah satu dari sahabat utama yang dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama dari sejumlah sahabat yang lainnya.
Beliau telah menghabiskan hidup dan segenap jiwa raganya, harta kekayaannya serta waktunya untuk diinfakkan dan berjihad di jalan Allah. Termasuk memberikan pelayanan dalam dakwah dan penyampaian wahyu.

Dialah sahabat Abu Bakar yang nama lengkapnya Abdullah bin Abi Quhafah Al Qurasyi At Tamimi yang terkenal dengan sebutan Abu Bakar Asy Syiddiq.

Apa yang Membuat Pemuda ini Menangis?

Saya melakukan perjalanan pulang setelah melakukan safar yang cukup lama. Setelah mengambil posisi di pesawat, qadarullah, posisiku di dekat sekelompok pemuda yang doyan hura-hura. Ketika tertawa dibuat terbahak-bahak, dan terlalu banyak bersenda gurau. Tempat itupun penuh dengan bau rokok mereka.

Ketika itu, pesawat penuh penumpang, sehingga tidak memungkinkanku untuk berpindah tempat. Ingin sekali aku pergi dari tempat ini, biar aku bisa istirahat. Sesak rasanya duduk bersama mereka. Aku hanya bisa menenangkan pikiranku dengan mengeluarkan mushaf dan membaca Al-Quran dengan suara pelan.

Kerinduan orang-orang yang baik kepada tempat yang lebih baik

Surga… dia adalah tempat harapan yang sangat tinggi yang diusahaka  (untuk didapat) oleh kaum mukminin sepanjang zaman.
Surga …adalah yang menjadi penggerak jiwa-jiwa para salafus shalih untuk mencontohkan   kepahlawanan dan paling tingginya pengorbanan.
Surga…adalah tujuan yang sangat mulia yang selalu diamati oleh pandangan-pandangan yang penuh kasih sayang. Dan membuat segenap jiwa yang merindukannya menjadi tergesa-gesa di setiap tempat dan zaman. Mereka rela menghadapi segala mara bahaya (hanya) untuk mendapatkan surga yang dijanjikan.

Surga…adalah harapan yang paling agung menurut seorang mukmin. Memasukinya dan hidup di  dalamnya adalah sebuah angan-angan yang menghantui sepanjang umurnya berjalan.
Betapa banyaknya, surga membuat seseorang bersegera kepada kebaikan dan kebenaran, walau jalan ini dipenuhi mara bahaya, kesusahan, onak dan duri, bahkan, walau ditebus dengan kematian.
Pernah terjadi di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diceritakan oleh  radhiallahu ‘anhu  ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pergi berperang, hingga mereka mendahului kaum musyrikin di daerah Badar, baru setelah itu kaum musyrikin. Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian maju ke depan, kecuali kalau aku memerintahkannya.”
Kemudian kaum musyrikin semakin mendekat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Bersegeralah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”
Maka ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari berkata,” Wahai rasulullah, surga luasnya seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab, “Ya.”
‘Umair berkata, “Ckk..ckk (alangkah hebatnya).”
Nabi menjawab, “Apa yang membuatmu kagum.”
Dia menjawab, “Tidak apa-apa wahai Rasulullah, hanya saja saya berharap agar menjadi penduduknya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau termasuk penduduknya.”
Maka ‘Umair melemparkan beberapa kurma dari tempat perbekalannya sambil memakannya, kemudian dua berkata, “Kalau aku hidup dengan menunggu sampai habisnya kurma-kurma ini, tentu alangkah panjangnya hidupku!!”
Maka dia membuang kurma-kurmanya kemudian memerangi mereka, hingga akhirnya dia terbunuh.” (HR. Muslim 1901, lihat Takhrij Fiqhus Sirah: 243 oleh Syekh Nashirudin Al-Albani)
Sikap seperti ini juga terjadi di hari hari-hari setelah beliau.
Abu Musa Al-Asy’ari berkata -ketika dia berhadapan dengan musuh-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah kilatan pedang.”
Maka ada seorang yan gkusut keadaannya bertanya, “Wahai Abu Musa! Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya?”
Abu Musa menjawab, “Ya.”
Maka dia kembali kepada teman-temannya dan mengatakan, “Saya titip salam kepada kalian.”
Kemudian dia memecahkan dan membuang sarung pedangnya, lalu berjalan menghunus pedangnya menuju musuh, maka dia menebas mereka dengan itu, hingga akhirnya dia terbunuh.” ( HR. Muslim: 1902, Tirmidzi: 91659, Ahmad IV: 396 dan  411, Al-Hakim II:70 dan Abu Nu’aim II:317. Lihat pembahasan yang rinci dan teliti lagi memuaskan yang ditulis oleh Al-ustadz Muhammad Ash-Shabbagh dalam bukunya At-Tashwiir Al-Fanni fil Haditsin Nabawi (152-179) dan Irwa’ul Ghalil V:7 oleh Syekh Al-Albani).
Sumber: Indahnya SURGA Dahsyatnya Neraka, Syaikh Ali bin Hasan  bin Ali Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari, Pustaka Al-Haura’, 1424 H.

Tokoh Tabi’in: Ar-Rabi bin Khutsaim

Hilal bin Isaf bercerita kepada tamunya yang bernama Mundzir ats-Tsauri: “Tidakkah sebaiknya kuantarkan engkau kepada syaikh agar kita bisa menambah keimanan sesaat?” Jawab Mundzir: “Baik, aku setuju. Demi Allah, tiada yang mendorong aku datang ke Kufah ini melainkan karena ingin bertemu dengan gurumu, Rabi’ bin Khutsaim dan rindu untuk bisa tinggal sesaat dalam taman iman bersamanya. Akan tetapi apakah engkau sudah minta izin kepadanya? Kudengar dia menderita penyakit rematik sehingga tidak keluar rumah dan enggan menerima tamu?”
Hilal berkata, “Memang begitulah orang-orang Kufah mengenalnya, sakitnya itu tidak mengubahnya barang sedikit pun.” Mundzir berkata, “Baiklah. Tetapi Anda tahu bahwa syaikh ini memiliki perasaan yang halus, apakah menurut Anda kita layak mendahului bicara dan bertanya sesuka kita? Atau kita diam saja menunggu beliau mulai bicara?”
Hilal menjawab, “Andaikata engkau duduk bersama Rabi’ bin Khutsaim selama setahun lamanya, maka dia tidak akan bicara apapun kecuali jika engkau yang mulai berbicara dan akan terus diam bila tidak kau dahului dengan pertanyaan. Sebab dia menjadikan ucapannya sebagai dzikir dan diamnya untuk berpirkir.”
Mundzir berkata, “Kalau begitu, marilah kita mendatanginya dengan barakah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Kemudian pergilah keduanya kepada syaikh itu. Setelah memberi salam, mereka bertanya, “Bagaimana kabar Anda pagi ini wahai syaikh?”
Ar-Rabi’: “Dalam keadaan lemah, penuh dosa, memakan rezeki-Nya, dan menanti ajalnya.”
Hilal: “Sekarang di Kufah ini ada tabib yang handal. Apakah syaikh mengizinkan kami memanggilnya untuk Anda?”
Ar-Rabi’: Wahai Hilal, aku tahu bahwa obat itu adalah benar-benar berkhasiat. Tetapi aku belajar dari kaum Aad, Tsamud, penduduk Rass dan abad-abad di antara mereka. Telah kudapati bahwa mereka sangat gandrung dengan dunia, rakus dengan segala perhiasannya. Keadaan mereka lebih kuat dan lebih ahli dari kita. Di tengah-tengah mereka banyak tabib, namun tetap saja ada yang sakit. Akhirnya tak tersisa lagi yang mengobati maupun yang diobati karena binasa. (beliau menghela nafas panjang dan berkata), seandainya itulah penyakitnya, tentulah aku akan berobat.”
Mundzir: “Kalau demikian, apa penyakit yang Anda derita wahai Syaikh?”
Ar-Rabi’: “Penyakitnya adalah dosa-dosa.”
Mundzir: “Lantas, apa obatnya?”
Ar-Rabi’: “Obatnya adalah istighfar.”
Mundzir: “Bagaimana bisa pulih kesehatannya?”
Ar-Rabi’: “Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya (Beliau menatap kedua tamunya sambil berkata), dosa yang tersembunyi… dosa yang tersembunyi… waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, segeralah datangkan obatnya!”
Mundzir: “Apa obatnya?”
Ar-Rabi’: “Dengan taubat nasuha (lalu beliau menangis hingga basah jenggotnya).”
Mundzir: “Mengapa Anda menangis wahai Syaikh?”
Ar-Rabi: “Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat Nabi) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri.”
Hilal bercerita: “Ketika kami asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang putranya, setelah memberi salam dia berkata:
“Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawakan kemari?” Beliau berkata, “Bawalah kemari.” Pada saat putranya keluar, terdengar orang meminta-minta mengetuk pintu. Syaikh itu berkata, “Suruhlah dia masuk.”
Ternyata dia adalah seorang tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan kesana kemari, terlihat dari wajahnya bahwa dia tidak begitu waras. Saya terus memperhatikan hingga kemudian masuklah putra Syaikh Rabi membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.
Roti itu diletakkan di tangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.
Putra Syaikh yang membawakan roti tersebut berkata, “Semoga Allah merahmati Ayah, ibu telah bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah, kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.” Syaikh menjawab, “Wahai putraku, jika dia tahu, maka sesungguhnya AllahSubhanahu wa Ta’ala Maha Tahu.” Kemudian beliau membaca firman Allah:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba datanglah seseorang yang masih terhitung sebagai kerabatnya dan berkata, “Wahai Abu Yazid, Hasan bin Fatimah terbunuh, semoga keselamatan tercurah atasnya dan juga ibunya.” Maka Syaikh berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un,” lalu membaca firman AllahSubhanahu wa Ta’ala
Katakanlah, Wahai Allah, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-MU tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.” (QS. Az-Zumar: 46)
Akan tetapi, rupanya orang itu belum puas dengan reaksi Syaikh, sehingga dia bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang pembunuhnya?” Beliau berkata, “Kepada Allah dia kembali dan menjadi hak perhitungannya.”
Hilal melanjutkan ceritanya, “Setelah kulihat waktu hampir memasuki zuhur, aku berkata, “Wahai Syaikh, berilah aku nasihat.”
Beliau berkata, “Wahai Hilal, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya sanjungan orang terhadapmu, sebab orang-orang tidak mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, melainkan hanya melihat lahiriahmu saja. Ketahuilah, sesungguhnya engkau tergantung pada amalanmu, setiap amalan yang dikerjakan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan sia-sia.”
Mundzir juga berkata, “Wahai Syaikh, berilah wasiat kepadaku juga, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”
Beliau berkata, “Wahai Mundzir, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap ilmu yang telah kau ketahui dan yang masih tersembunyi bagimu, serahkanlah kepada yang mengetahuinya. Wahai Mundzir jangan sekali-kali salah satu dari kalian berdoa: “Ya Allah, aku telah bertaubat,” lalu tidak melakukannya, sebab dia dianggap dusta. Tapi katakanlah: “Ya Allah, ampunilah aku,” maka itu akan menjadi doa. Ketahuilah wahai Mundzir, tidak ada kebaikan dalam ucapan melainkan untuk tahlil, tahmid, takbir, dan tasbih kepada Allah, kemudian bertanya tentang kebaikan, menjaga dari kejahatan, menyeru yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan membaca Alquran.”
Mundzir berkata, “Telah lama kami duduk bersama Anda, namun sedikit pun kami tidak mendengar ucapan sya’ir dari Anda, sedangkan kami melihat sebagian dari sahabat Anda mengucapkannya.”
Beliau berkata, “Tak ada sepatah katapun yang aku ucapkan kecuali akan dicatat di dunia dan kelak akan dibacakan di akhirat. Aku tidak suka mendapatkan bukuku dibacakan di hari kiamat sedangkan di dalamnya ada kata-kata sya’ir.”
Kemudian beliau memperhatikan kami dan berkata, “Perbanyaklah mengingat mati, karena ia adalah perkara ghaib yang amat dekat tiba saatnya. Sesuatu yang ghaib meskipun lama waktunya, pasti serasa dekat ketika datangnya.”
Beliau terisak menangis sambil berkata terbata-bata, “Apa yang akan kita perbuat kelak tatkala (kemudian membaca firman Allah)
Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.” (QS. Al-Fajar: 21-23)
Belum lagi beliau selesai bicara, terdengar suara adzan zurhur. Bersamaan dengan itu putranya datang, lalu Syaikh berkata kepadanya, “Mari kita sambut panggilan Allah.”
Putranya berkata kepada kami, “Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga AllahSubhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan kepada kalian.”
Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga dia bisa bergantung di antara aku dan putranya pada saat berjalan. Mundzir berkata: “Wahai Abu Yazid, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rukhsah (keringanan) bagi Anda untuk boleh shalat di rumah.”
Beliau berkata, “Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, “Marilah menuju kemenangan!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walau harus dengan merangkak…”
Setelah cerita tersebut.. tahukah Anda, siapakah sebenarnya ar-Rabi’ bin Khutsaim itu?
Beliau adalah salah satu ulama tabi’in yang utama dan satu di antara delapan orang yang dikenal paling zuhud di masanya. Beliau orang Arab asli, suku Mudhar dan silsilahnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakeknya, Ilyas dan Mudhar. Beliau tumbuh di atas ketaatan kepada Allah sejak usia dini.
Ibunda beliau sering terbangun di tengah malam dan melihatnya masih berada di mihrabnya, hanyut dalam munajatnya dan tenggelam dalam shalatnya. Ibunya menegur: “Wahai anakku Rabi’, tidakkah engkau tidur?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa tidur seseorang yang di waktu gelap khawatir akan disergap musuh?”
Melelehlah air mata di pipi ibu yang telah lanjut usia dan lemah itu, lalu mendoakan putranya agar mendapat kebaikan.
Ar-Rabi’ tumbuh menjadi dewasa, seiring dengan bertambah wara dan takutnya kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala. Seringkali ibunya merasa khawatir karena melihat putranya sering menangis sendiri di tengah malam, padahal orang lain tengah lelap dengan tidurnya. Sampai-sampai terlintas di benak ibunya sesuatu yang bukan-bukan, lalu beliau memanggilnya,
Ibu: “Apa yang sebenarnya terjadi atas dirimu wahai anakku, apakah engkau telah berbuat jahat atau telah membunuh orang?”
Ar-Rabi’: “Benar, aku telah membunuh seorang jiwa.”
Ibu: “Siapakah gerangan yang telah engkau bunuh, nak? Katakanlah agar aku bisa meminta orang-orang menjadi perantara untuk berdamai dengan keluarganya, mungkin mereka akan memaafkanmu. Demi Allah seandainya keluarga korban itu mengetahui tangisan dan penderitaanmu itu, tentulah mereka akan merasa kasihan melihatmu.”
Ar-Rabi: “Wahai ibu, jangan beritahukan kepada siapapun, aku telah membunuh jiwaku dengan dosa-dosa.”
Beliau adalah murid dari Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah murid yang paling banyak meneladani sikap dan perilakunya. Hubungan ar-Rabi dengan gurunya layaknya seorang anak dengan ibunya. Kecintaan guru terhadap muridnya laksana kasih sayang seorang ibu terhadap anak tunggalnya. Ar-Rabi’ biasa keluar masuk rumah gurunya tanpa harus meminta izin. Bila dia datang, maka yang lain tidak diizinkan masuk sebelum ar-Rabi’ keluar.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu merasakan ketulusan dan keikhlasan ar-Rabi, kebagusan ibadahnya yang memancar kuat di hatinya, rasa kecewanya lantaran tertinggal dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu sahabat beliau. Ibnu Mas’ud berkata kepadanya: “Wahai Abu Yazid, seandainya Rasulullah melihatmu, tentulah beliau mencintaimu.” Beliau juga berkata, “Setiap kali melihatmu, aku teringat pada para mukhbitin [orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah].
Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud tidaklah berlebihan, karena Rabi’ bin Khutsaim telah mampu mencapai kesederhanaan dan ketakwaan yang jarang bisa dilakukan oleh orang lain dan selalu diunggulkan dalam berita-berita yang mengharumkan lembaran sejarah. Di antaranya yang disebutkan oleh salah satu kawannya:
“Sudah 20 tahun aku berteman dengan ar-Rabi’, namun belum pernah kudengar dia mengucapkan suatu perkataan kecuali perkataan yang naik kepada Allah, lalu beliau membaca:
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal-amal yang shaleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)
Abdurrahman bin Ajlan bercerita: “Suatu malam aku menginap di rumah ar-Rabi’. Ketika dia merasa yakin bahwa aku telah tertidur, beliau bangun lalu shalat sambil membaca ayat:
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalat, baik di masa hidupnya dan sesudah matinya? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21)
Beliau menghabiskan sepanjang malamnya untuk shalat dan mengulang-ulang ayat tersebut hingga fajar, sementara air mata membahasi kedua pipinya.
Berita tentang rasa takut Rabi’ bin Khutsaim kepada Allah begitu banyak, di antara contohnya adalah kisah yang diceritakan seorang kawannya:
“Suatu hari kami pergi menyertai Abdullah bin Mas’ud ke suatu tempat bersama ar-Rabi’ bin Khutsaim. Tatkala perjalanan kami sampai di tepi sungai Eufrat, kami melewati suatu perapian besar tempat membakar batu bata. Apinya menyala berkobar-kobar, terbayang akan kengeriannya, semburan apinya menjilat dengan dahsyatnya, gemuruh suara percikan apinya dan gemertak batu bata yang sudah dimasukkan ke dalamnya.
Tatkala melihat pemandangan itu, ar’Rabi’ terpaku di tempatnya, tubuhnya mengigil dengan hebatnya lalu beliau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” (QS. Al-Furqan: 13)
Hingga akhirnya beliau pingsan. Kami merawatnya hingga sadar kembali lalu membawanya pulang ke rumahnya.”

Kisah Taubatnya Tiga Wanita Syiah


Bismillahirrahmaanirrahiem, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi dan Rasul termulia, junjungan kami Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung, kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami bertawakkal. Engkaulah Yang Memulai dan Mengulangi, Ya Allah kami berlindung dari kejahatan perbuatan kami dan minta tolong kepada-Mu untuk selalu menaati-Mu, dan kepada-Mu lah kami bertawakkal atas setiap urusan kami.
Semenjak lahir, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak.

Masuk Islamnya Salman Al-Farisi Radhiallahu ‘anhu

Kisah Sahabat: Salman Al-Farisi Radhiallahu ‘anhu

Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.

Menjadi Wanita Shalehah Karena Nasihat Seorang Pemuda



Mungkin sedikit orang yang menyadari bahwa istiqomah dalam ketaatan adalah salah satu bentuk dakwah, orang-orang memahami bahwa dakwah hanyalah penyampaian dalam bentuk lisan, tulisan, atau pelajaran. Penulis pernah mendengar salah seorang da’i menyampaikan sebuah kisah tatkala ia berada di Amerika. Da’i ini adalah seorang yang berasal dari Arab Saudi. Tatkala dia ke Amerika dan menjadi pemateri di sebuah pertemuan tak disangka ada seorang pemateri juga berasal dari Arab Saudi namun sudah 40 tahun tinggal di Amerika. Tatkala ia melihat da’i ini, ia pun merasa malu dengan penampilan sang da’i yang sesuai dengan latar belakang Arabnya; memkai jubah dan mengenakan gurtah. Lalu ia menegur sang da’i untuk mengganti apa yang ia pakai karena itu terkesan kuno dan terbelakang, beda dengan penampilannya. Sang da’i tidak menanggapi serius perkataannya.

Beginilah yang dimaksud PERSATUAN itu,..persatuan diatas jalan yang lurus.

Wednesday, September 25, 2013

Adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri jika umat islam pada zaman ini telah berpecah belah dan terkotak-kotak, setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.
Padahal Allah ‘Azza wa Jalla dan Rosul-Nya memerintahkan kita untuk membuang perpecahan, dan bersatu padu diatas tali-Nya

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا

“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai “. (QS Ali Imran : 103).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :” Allah memerintahkan untuk bersatu dan melarang berpecah belah. Banyak hadits yang melarang berpecah belah dan menyuruh bersatu sebagaimana dalam sahih Muslim, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Sesungguhnya Allah rela untuk kalian tiga perkara …..(diantaranya disebutkan) : dan agar kalian berpegang dengan tali Allah dan tidak berpecah belah “. (Tafsir Ibnu Katsir 1/397).

Wahai Para Pemuda...Dimanakah Engkau..?, Kembalilah...

Para pemuda -semoga Allah merahmati kalian- bukanlah sesuatu yang asing bagi kita bahwa kaum muda adalah pelopor berbagai perubahan di berbagai penjuru dunia.
Namun, yang menjadi pertanyaan ialah ke arah mana perubahan itu hendak dijalankan; kepada kebaikan ataukah keburukan? Sementara kita semua menyadari kandungan firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Dari situlah, maka kesadaran generasi muda untuk menjadi garda terdepan perjuangan umat Islam merupakan modal besar perubahan ini. Para pemuda yang tidak terlalaikan oleh kesenangan dunia yang fana dan tidak terpedaya oleh tipu daya Iblis dan bala tentaranya yang kian hari kian menggoda. Para pemuda yang mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Yang dengan kecintaan itu mereka rela berjuang di jalan-Nya, dengan harta mereka, ilmu, bahkan kalau perlu nyawa mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak pernah berperang atau tidak pernah terbersit di dalam hatinya keinginan untuk berperang maka dia meninggal di atas salah satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seorang mujahid itu adalah yang berjuang menundukkan hawa nafsunya dalam rangka ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad).

Balasan Nan Indah

Abu Ibrahim bercerita,
Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas. Kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung, matanya buta, dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَق تَفْضِيْلاً ..

Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh. Ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi. Kedua tangannya buntung, matanya buta, dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya.

( Nah gini baru kereen..!!) Masa Muda Taat, Masa Tua akan dijaga oleh Allah

Tuesday, September 24, 2013

Sebagian remaja menghabiskan waktunya di masa muda dengan hal sia-sia. Jauh dari masjid, jauh dari majelis taklim, jauh dari mengenal Allah. Padahal masa muda adalah cerminan dari masa tua kita.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma-,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.[1] Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan  larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah).

Remaja Feed

Nasehat feed

Sentu Hatimu Feed

AL QURAN Feed

JALAN KEBENARAN Feed

 

© Copyright BERSATU DALAM ISLAM 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.