Sesungguhnya masalah syafa’at termasuk pembahasan penting yang
wajib diketahui oleh seorang muslim karena beberapa sebab:
1. Masalah ini termasuk cabang iman kepada hari akhir yang
merupakan rukun iman
2. Mempelajarinya akan menambah iman dan cinta kita kepada Allah
dan rasul-Nya
3. Mengenal luasnya rahmat Allah kepada hamba-Nya, kasih sayang
rasulullah kepada umatnya dan agungnya agama Islam
4. Banyaknya penyimpangan dalam masalah ini sehingga
menjerumuskan manusia kepada kesyirikan
5. Perhatian para ulama tentang masalah ini, karena mereka
selalu membahasnya dalam kitab-kitab mereka, bahkan ada yang membukukannya
secara khusus[1]
Tulisan ini adalah pembahasan ilmiah secara sistematis dengan
harapan agar kita memahami masalah ini secara gamblang.
Definisi Syafa’at
Syafa’at secara bahasa adalah genap
lawan kata ganjil.[2] Disebut demikian karena dia yang awalnya ganjil tetapi
setelah bergabung dengan pemilik hajat maka menjadi genap.[3] Ar-Raghib
al-Asfahani Rahimahullahberkata, “Bergabung
dengan lainnya sebagai penolong baginya. Dan paling sering digunakan untuk
bergabungnya yang lebih mulia kedudukannya kepada yang lebih rendah, di
antaranya adalah syafa’at pada hari Kiamat.”[4]
Adapun definisinya secara istilah adalah memintakan untuk orang
lain agar mendapatkan manfaat atau terhindar dari mudarat.[5]
Contoh untuk mendapatkan manfaat
adalah syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam kepada penduduk surga agar lekas memasukinya. Sementara itu,
contoh untuk menolak mudarat adalah syafa’at Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak
memasukinya.
Tujuan dari syafa’at adalah: (1)
untuk memuliakan pemberi syafa’at, (2) untuk memberikan manfaat kepada yang
diberi syafa’at.[6]
Dalil-Dalil Syafa’at
Syafa’at ditetapkan dalam al-Qur‘an, hadits, dan ijma’.
Perinciannya sebagai berikut:
Dalil al-Qur‘an
يَوْمَئِذٍۢ لَّا تَنفَعُ ٱلشَّفَـٰعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ
ٱلرَّحْمَـٰنُ وَرَضِىَ لَهُۥ قَوْلًۭا ١٠٩
Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang
yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai
perkataannya. (QS Thaha [20]: 109)
وَكَم مِّن مَّلَكٍۢ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ لَا تُغْنِى
شَفَـٰعَتُهُمْ شَيْـًٔا إِلَّا مِنۢ بَعْدِ أَن يَأْذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ
وَيَرْضَىٰٓ ٢٦
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit
pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang
dikehendaki dan diridhai(Nya). (QS an-Najm [53]: 26)
Dalil Hadits
Hadits-hadits tentang syafa’at banyak sekali banyak mencapai
derajat mutawatir[7], di antaranya adalah:
أَسْعَدُ اْلنَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia memperoleh syafa’atku pada hari
Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ ikhlas dari lubuk
hatinya.” (HR Bukhari: 99, 6570)
Dalil Ijma’
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para
ulama bersepakat mengimani syafa’at, bahkan menjadikan hal ini sebagai salah
satu pokok aqidah mereka.[8] Al-Allamah Hafizh al-Hakami mengatakan, “Syafa’at
adalah haq (benar adanya), diimani oleh seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sebagaimana diimani oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan kebaikan.”[9] Ijma’ ini dinukil oleh banyak ulama.[10] Oleh karenanya,
hampir tidak ada satu kitab pun yang membahas tentang aqidah Ahlu Sunnah wal
Jama’ah yang ditulis oleh ulama-ulama salaf kita kecuali ada pembahasan
tentangnya. Maka alangkah menariknya ucapan Sahabat Anas bin Malik Radhialllahu ‘Anhu, “Barangsiapa mendustakan syafa’at,
maka dia tidak mendapatkan bagian dari syafa’at.”[11]
Syarat-Syarat
Syafa’at
Syafa’at memiliki dua syarat yang harus terpenuhi, jika salah
satunya tidak terpenuhi maka tidak akan terwujud syafa’at, yaitu[12]:
Pertama: Izin Allah
kepada pemberi syafa’at
Hal ini berdasarkan firman Allah:
مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ
Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.
(QS al-Baqarah [2]: 255)
وَلَا تَنفَعُ ٱلشَّفَـٰعَةُ عِندَهُۥٓ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُۥ
ۚ
Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang
yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu. (QS Saba‘ [34]: 23)
Kedua: Ridha Allah
terhadap orang yang memberi syafa’at dan yang diberi syafa’at, di mana dia
termasuk ahli tauhid yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
يَوْمَئِذٍۢ لَّا تَنفَعُ ٱلشَّفَـٰعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ
ٱلرَّحْمَـٰنُ وَرَضِىَ لَهُۥ قَوْلًۭا ﴿١٠٩﴾
Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang
yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai
perkataannya. (QS Thaha [20]: 109)
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرْتَضَىٰ
Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang
diridhai Allah. (QS al-Anbiya‘ [21]: 28)
Jadi, syafa’at kelak pada hari Kiamat
tidak terwujudkan kecuali bagi siapa yang diizinkan oleh Allah dan diridhainya.
Sampai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam sekalipun, beliau tidak bisa memberikan syafa’at begitu saja
kecuali setelah diizinkan oleh Allah, sebagaimana dalam hadits yang panjang
tentang syafa’at, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda:
فَأَسْتَأْذِنُ عَلَى رَبِّي فَيُؤْذَنُ لِي وَيُلْهِمُنِي
مَحَامِدَ أَحْمَدُهُ بِهَا
“Maka aku meminta izin kepada Rabbku, lalu diizinkan bagiku, dan
Allah memberikan ilham kepadaku berupa pujian-pujian kepada-Nya sehingga aku
memuji Allah dengannya.” (HR Bukhari 8/200, Muslim 1/180)
Dan Allah tidak ridha kecuali kepada ahli tauhid, sebagaimana
dalam hadits:
أَسْعَدُ اْلنَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia memperoleh syafa’atku pada hari
Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ ikhlas dari lubuk
hatinya.” (HR Bukhari: 99, 6570)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat
rahasia pentingnya tauhid, sebab syafa’at hanya diperoleh dengan pemurnian
tauhid, siapa yang sempurna tauhidnya, maka berhak mendapat syafa’at, bukan
dengan syirik seperti yang dilakukan mayoritas orang.”[13]
Macam-Macam
Syafa’at
Syafa’at terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Syafa’at
yang ditetapkan
Allah banyak menyebutkan dalam al-Qur‘an penetapan syafa’at
setelah mendapatkan izin dan ridha Allah, seperti dalam firman-Nya:
وَكَم مِّن مَّلَكٍۢ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ لَا تُغْنِى
شَفَـٰعَتُهُمْ شَيْـًٔا إِلَّا مِنۢ بَعْدِ أَن يَأْذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ
وَيَرْضَىٰٓ ٢٦
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit
pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang
dikehendaki dan diridhai(Nya). (QS an-Najm [53]: 26)
Kedua: Syafa’at
yang ditiadakan
Dalam ayat-ayat lain, Allah meniadakan syafa’at, karena itu
adalah syafa’at yang batil yaitu syafa’at syirik, seperti dalam firman Allah:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَـٰعَةُ ٱلشَّـٰفِعِينَ ﴿٤٨
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang
yang memberikan syafa’at. (QS al-Muddatstsir [74]: 48)
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا
يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ
أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَلَا فِى
ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿١٨
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka
berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.”
Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya
baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan
apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS Yunus [10]: 18)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah mengatakan, “Syafa’at yang dibatalkan
adalah syafa’at syirik, karena tidak ada sekutu bagi Allah. Adapun syafa’at
yang ditetapkan adalah syafa’at hamba yang tidak dapat memberi syafa’at dan
tidak maju di hadapan Allah sehingga Dia mengizinkannya seraya mengatakan:
‘Berilah syafa’at kepada fulan.’ Oleh karenanya, orang yang paling bahagia
dengan syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kelak pada hari Kiamat
adalah ahli tauhid yang memurnikan tauhid hanya kepada Allah dan
membersihkannya dari noda-noda syirik.”[14]
Syafa’at Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terbagi menjadi dua
macam:
Pertama: Syafa’at beliau yang khusus untuk dirinya pribadi
Kedua: Syafa’at yang umum, untuk dirinya dan lainnya juga dari para
nabi dan orang shalih.[15]
Berikut penjelasannya secara lebih terperinci:
A. Syafa’at khusus
Syafa’at yang khusus untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah sebagai
berikut:
1. Syafa’at
uzhma (sangat besar)
Yaitu syafa’at beliau kepada manusia
dari dahsyatnya hari itu agar disegerakan hisab dan pengadilan Allah, di mana
manusia telah meminta kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, namun mereka
semua udzur, lalu mereka meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian beliau
memohon syafa’at kepada Allah dan dikabulkan.[16]
Syafa’at ini adalah syafa’at yang paling utama dan mencakup umum
untuk semua makhluk apa pun agamanya. Syafa’at jenis ini disepakati ulama
tentang kebenarannya. Di antara dalilnya adalah firman Allah:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةًۭ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًۭا مَّحْمُودًۭا ﴿٧٩
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke
tempat yang terpuji. (QS al-Isra‘ [17]: 79)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Mayoritas ahli ilmu
menjelaskan bahwa maksud maqam (kedudukan) terpuji dalam ayat ini adalah
kedudukan beliau pada hari Kiamat untuk memberikan syafa’at saat manusia
merasakan dahsyatnya hari itu.”[17]
2. Syafa’at beliau
terhadap penduduk surga untuk masuk surga setelah selesai hisab
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin
Malik Rahimahullah beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
آتِى بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ
فَيَقُولُ الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ فَأَقُولُ مُحَمَّدٌ. فَيَقُولُ بِكَ أُمِرْتُ
لاَ أَفْتَحُ لأَحَدٍ قَبْلَكَ
“Saya datangi pintu surga pada hari Kiamat lalu aku minta
dibukakan, lantas Khazin (Malaikat penjaga) berkata: ‘Siapa kamu?’ Aku
menjawab: ‘Muhammad.’ Lantas dia mengatakan: ‘Untukmu aku diperintahkan agar
tidak membukakan pintu kepada seorang pun sebelummu.’” (HR Muslim 1/188)
3. Syafa’at untuk
meringankan siksaan pamannya yaitu Abu Thalib
Hal ini berdasarkan hadits Abbas bin
Abdul Muththalib bahwasanya dia pernah bertanya kepada NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ
فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ
نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ
“Ya Rasulullah, apakah engkau memberikan manfaat kepada pamanmu
dengan sesuatu, sebab dia telah melindungimu dan marah untuk menjagamu?” Beliau
menjawab, “Ya, di muka neraka, seandainya bukan karena saya (syafa’at saya)
niscaya dia berada di paling dasar neraka.” (HR Bukhari 4/247, Muslim 1/195)
Dan juga berdasarkan hadits Abu Sa’id
al-Khudri Radhialllahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallampernah disebut di
sisinya Abu Thalib, paman beliau, maka beliau bersabda:
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ
فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ يَغْلِي مِنْهُ دِمَاغُه
“Semoga syafa’atku bermanfaat baginya pada hari Kiamat, dia
dijadikan di muka neraka hingga sampai kedua mata kakinya, memanas otaknya.”
(HR Bukhari 7/203)
B. Syafa’at Umum
Adapun syafa’at umum, untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan juga lainnya
dari kalangan para nabi dan orang shalih adalah sebagai berikut:
1. Syafa’at untuk
mengangkat derajat sebagian ahli surga
Di antara dalilnya adalah hadits Ummu
Salamah Radhialllahu ‘Anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendo’akan untuk
Abu Salamah Radhialllahu ‘Anhu tatkala dia meninggal dunia:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِى سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى
الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِى عَقِبِهِ فِى الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا
وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِى قَبْرِهِ. وَنَوِّرْ لَهُ
فِيهِ
“Ya Allah, ampunilah Abu Salamah dan tinggikanlah derajatnya
bersama orang-orang yang diberi petunjuk, dan berilah penggantinya bagi
anak-anaknya, ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah
kuburnya dan sinarilah untuknya dalam kuburnya.” (HR Muslim 2/634)
2. Syafa’at untuk
masuknya sebagian kaum mukminin ke surga tanpa hisab
Di antara dalil yang menunjukkan hal
ini adalah hadits Abu Umamah al-Bahili Radhialllahu
‘Anhu, beliau mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
وَعَدَنِي رَبِّي أَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعِينَ
أَلْفًا لاَ حِسَابَ عَلَيْهِمْ وَلاَ عَذَابَ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ
أَلْفًا وَثَلاَثُ حَثَيَاتٍ مِنْ حَثَيَاتِه
“Rabbku menjanjikanku untuk memasukkan ke surga tujuh puluh ribu
umatku tanpa hisab dan tanpa adzab, bersama setiap seribu tambahan tujuh puluh
ribu dan tiga cakupan-Nya.” (HR Tirmidzi 4/626 dan dishahihkan oleh al-Albani)
3. Syafa’at untuk
pelaku dosa besar
Syafa’at jenis ini adalah syafa’at yang disepakati oleh ulama
Ahli Sunnah wal Jama’ah dari kalangan sahabat, tabi’in, seluruh imam empat, dan
selainnya, namun diingkari oleh mayoritas ahli bid’ah dari Khawarij dan
Mu’tazilah.
Jenis syafa’at tersebut karena jenis itulah yang menjadi ajang
pergulatan ilmiah antara Ahli Sunnah versus ahli bid’ah. Oleh karenanya pula,
terkadang para ulama memutlakkan kata “syafa’at” pada jenis ini, dengan tujuan
untuk membantah paham Khawarij dan Mu’tazilah.[18]
Hadits-hadits tentang syafa’at jenis ini adalah derajatnya
mutawatir[19]. Di antara dalilnya adalah:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ اْلنَّبِيَّ قَالَ: شَفَاعَتِيْ
لأَهْلِ اْلكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِيْ
Dari Anas bin Malik Radhialllahu ‘Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari umatku.”[20]
4. Syafa’at kepada
kaum yang diperintahkan untuk dimasukkan ke neraka agar tidak masuk ke neraka
5. Syafa’at kepada kaum yang sama antara kebaikan dan
kejelekan mereka agar masuk surga.[21]
Syafa’at Selain
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Perlu diketahui bahwa selain Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam baik malaikat, rasul, sahabat, syuhada, para kekasih Allah
sesuai dengan kedudukan mereka di sisi Allah, dapat memberikan syafa’at
berdasarkan hadits-hadits yang banyak sekali. Dan ini adalah perkara yang boleh
dan bukan hal mustahil, maka wajib diimani dan dipercayai.[22]
Di antara makhluk yang bisa memberi
syafa’at selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam adalah:
1. Malaikat
2. Para nabi
3. Kaum mukminin
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits qudsi
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhialllahu
‘Anhu:
فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتِ الْمَلاَئِكَةُ وَشَفَعَ
النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ أَرْحَمُ
الرَّاحِمِينَ
“Allah berfirman: ‘Para malaikat, para nabi, orang-orang mukmin
telah memberikan syafa’at, tinggal Dzat yang Maha Penyayang…’” (HR Muslim
1/167–171)
4. Para syuhada
Hal ini berdasarkan hadits Abu
Darda’ Radhialllahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallambersabda:
يُشَفَّعُ الشَّهِيدُ فِى سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِه
“Orang syahid memberikan syafa’at kepada tujuh puluh anggota
keluarganya.” (HR Abu Dawud 3/34 dan dishahihkan al-Albani)
5. Anak-anak kaum
mukminin untuk orang tua mereka
Hal ini berdasarkan hadits Abu
Hurairah Radhialllahu ‘Anhu:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوتُ لَهُمَا ثَلَاثَةُ أَوْلَادٍ لَمْ
يَبْلُغُوا الْحِنْثَ ، إِلَّا أَدْخَلَهُمَا اللهُ وَإِيَّاهُمْ بِفَضْلِ
رَحْمَتِهِ الْجَنَّةَ . قَالَ: يُقَالُ لَهُمْ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ . قَالَ:
فَيَقُولُونَ: حَتَّى يَجِيءَ أَبَوَانَا ” قَالَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ . فَيَقُولُونَ
مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ: ” فَيُقَالُ لَهُمْ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ
وَأَبَوَاكُمْ
“Tidaklah dua orang tua muslim yang ditinggal mati oleh tiga
anaknya yang belum baligh kecuali Allah memasukkan keduanya dan anak-anak
mereka ke surga dengan rahmat Allah. Dikatakan kepada mereka: ‘Masuklah ke
surga.’ Anak-anak tersebut menjawab: ‘Kami tidak akan masuk sehingga orang tua
kami datang’, mengatakannya sebanyak tiga kali. Akhirnya, dikatakan kepada
mereka: ‘Masuklah ke surga kalian beserta orang tua kalian.’” (HR Ahmad 2/510,
Nasai 4/25 dan dishahihkan al-Albani)
Amalan-Amalan Pemberi Syafa’at
Ada beberapa amalan ibadah yang bisa memberikan syafa’at kepada
pelakunya kelak di akhirat nanti. Hal ini wajib diimani karena hadits-haditsnya
shahih. Di antaranya adalah:
1. Al-Qur‘an
Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah
al-Bahili Radhialllahu ‘Anhu, “Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
شَفِيعًا لأَصْحَابِه
“Bacalah al-Qur‘an karena ia akan datang pada hari Kiamat kelak
untuk memberikan syafa’at kepada pembacanya.” (HR Muslim 1/553)
2. Puasa
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah
bin Amr Radhialllahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ
وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ:
مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al-Qur‘an akan memberikan syafa’at kepada hamba kelak
pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah mencegahnya dari
syahwat di siang hari maka berilah aku syafa’at untuknya.’ Al-Qur‘an juga
berkata, ‘Saya telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berilah aku
syafa’at untuknya.’ Lalu keduanya diberi syafa’at untuk pelakunya.” (HR Abu
Dawud 2/119, Tirmidzi 5/164, dan dishahihkan al-Albani)
Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan, “Puasa memberikan
syafa’at bagi orang yang mencegah dari makanan dan syahwat yang haram baik
haram karena khusus puasa seperti makan, minum, serta hubungan badan dengan
istri, atau haram bukan karena khusus puasa seperti ucapan haram, mendengar
haram, pandangan haram, pekerjaan haram. Maka, jika puasa dapat mencegah hamba
dari perbuatan-perbuatan haram tersebut niscaya akan memberikan syafa’at
baginya. Adapun orang puasa tetapi tidak mencegah diri dari dosa-dosa maka
pantas jika wajahnya ditampar. Demikian halnya dengan al-Qur‘an, ia memberikan
syafa’at bagi orang yang menjaga hak al-Qur‘an.”[23]
Kiat Menggapai
Syafa’at
Sekalipun syafa’at adalah rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman setelah mendapatkan izin dan ridha-Nya, di sana ada beberapa sebab
dan faktor yang menjadikan seorang dapat meraih syafa’at. Di antara faktor
tersebut adalah:
1. Tauhid
Tidak ragu lagi bahwa tauhid—yaitu
memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah—adalah faktor utama untuk meraih
syafa’at, bahkan tauhid adalah syarat utama syafa’at sebagaimana telah lalu
penjelasannya. Juga berdasarkan hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam:
أَسْعَدُ اْلنَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia memperoleh syafa’atku pada hari
Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ ikhlas dari lubuk
hatinya.” (HR Bukhari: 99, 6570)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Syafa’at sebabnya adalah
menauhidkan (mengesakan) Allah dan memurnikan agama dan ibadah hanya kepada
Allah. Semakin bertauhid seseorang, semakin berhak dia mendapatkan
syafa’at.”[24]
2. Membaca
al-Qur‘an dan mempelajarinya serta mengamalkan kandungannya
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه
“Bacalah al-Qur‘an karena dia akan datang pada hari Kiamat kelak
untuk memberikan syafa’at kepada pembacanya.” (HR Muslim 1/553)
3. Berpuasa wajib
dan sunnah ikhlas karena Allah
Hal ini berdasarkan hadits:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ
وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ:
مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al-Qur‘an akan memberikan syafa’at kepada hamba kelak
pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah mencegahnya dari
syahwat di siang hari maka berilah aku syafa’at untuknya.’ Al-Qur‘an juga
berkata, ‘Saya telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berilah aku
syafa’at untuknya.’ Lalu keduanya diberi syafa’at untuk pelakunya.” (HR Abu
Dawud 2/119, Tirmidzi 5/164, dan dishahihkan al-Albani)
4. Do’a anak shalih
Hal ini berdasarkan hadits Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ
فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ:
بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَك
“Sesungguhnya Allah meninggikan derajat hamba yang shalih di
surga lalu dia mengatakan, ‘Wahai Rabbku, dari manakah kedudukan ini?’ Allah
menjawab, ‘Karena sebab do’a ampunan anakmu untukmu.’” (HR Ahmad: 5092, Bukhari
dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan al-Albani)
5. Tinggal di kota
Madinah
Hal ini berdasarkan hadits:
مَنْ صَبَرَ عَلَى لأْوَائِهَا وَشِدَّتِهَا كُنْتُ لَهُ شَهِيدًا
أَوْ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَة
“Barangsiapa yang sabar menghadapi
kesengsaraannya maka saya akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at baginya kelak
pada hari Kiamat.” (HR Muslim 2/1004)
6. Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ d أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ
n يَقُولُ: إِذَا سَمِعْتُمُ
الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ
صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوْا
اللَّهَ لِيْ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِيْ
إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ فَمَنْ
سَأَلَ لِي الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya dia
mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallambersabda, “Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah
seperti yang diucapkan muadzin kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena,
barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan shalawat
kepadanya sepuluh kali, kemudian mintalah kepada Allah wasilah karena itu
adalah tempat di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari
hamba-hamba Allah dan saya berharap sayalah yang mendapatkannya, maka
barangsiapa yang memintakan untukku wasilah niscaya halal syafa’at
baginya.”[25]
Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada tiga
sunnah yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia yaitu menjawab adzan,
shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamusai menjawab, dan memintakan
wasilah untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Anehnya, engkau perhatikan sebagian orang yang meremehkan
sunnah-sunnah ini adalah orang yang sangat fanatik memperjuangkan bid’ahnya
shalawat muadzin secara keras usai adzan, padahal hal tersebut merupakan
kebid’ahan dalam agama dengan kesepakatan ulama. Kalau mereka melakukan hal itu
dengan alasan cinta Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, lantas kenapakah mereka tidak menghidupkan sunnah ini dan
meninggalkan bid’ah tersebut?! Kita memohon hidayah.”[26]
7. Shalat manusia
kepada mayit yang bertauhid
Berdasarkan hadits:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ
أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ
اللَّهُ فِيه
“Tidaklah seorang muslim meninggal
dunia lalu jenazahnya dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu pun kecuali mereka akan memberikan syafa’at baginya.” (HR
Muslim 2/654)
Masalah Penting: Ziarah Kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam termasuk faktor meraih syafa’at?
Sebagian orang menyebutkan bahwa
termasuk kiat untuk meraih syafa’at adalah dengan ziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits yang mereka nisbahkan kepada beliau dalam masalah ini.
Perlu diketahui bahwa ziarah kubur Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam memang disyari’atkan, tetapi mengatakan bahwa itu adalah
sebab meraih syafa’at tidaklah benar, sebab hadits-hadits tentangnya tidak ada
yang shahih, seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِيْ أَوْ قَالَ مَنْ زَارَنِيْ كُنْتُ لَهُ
شَفِيْعًا أَوْ شَهِيْدًا
“Barangsiapa menziarahi kuburanku atau menziarahiku maka saya
akan memberikan syafa’at baginya atau menjadi saksinya.”[27]
Perlu diketahui bahwa hadits ini memiliki beberapa lafal yang
serupa, tetapi semua jalur haditsnya sangat parah kelemahannya ditinjau dari
segi ilmu hadits. Tidak ada satu pun hadits yang shahih menurut ahli
hadits.[28]
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani Rahimahullah berkata, “Kebanyakan hadits-hadits ini adalah palsu.”[29]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallamsemuanya lemah, tidak bisa dijadikan pijakan dalam agama. Oleh
karena itu, tidak ada penulis kitab shahih dan sunan yang meriwayatkannya,
namun yang meriwayatkannya adalah sebagian ulama yang meriwayatkan
hadits-hadits lemah semisal ad-Daraquthni, al-Bazzar, dan selainnya.”[30]
Penghalang-Penghalang
Syafa’at
Ada beberapa hal yang bisa menghalangi seorang dari syafa’at.
Hal ini perlu diketahui agar Anda terhindar dari perbuatan-perbuatan tersebut:
1. Syirik kepada
Allah
Syirik adalah dosa paling besar yang
tidak akan diampuni oleh Allah kecuali jika pelakunya bertaubat. Dalil yang
menunjukkan bahwa syirik adalah penghalang syafa’at adalah firman Allah dalam
Surat Yasin: 23-24
2. Pemimpin zalim dan sikap berlebih-lebihan dalam agama
Hal ini berdasarkan hadits:
رَجُلانِ مِنْ أُمَّتِي لا يَنَالُهُمَا شَفَاعَتِي: سُلْطَانٌ
ظَلُومٌ غَشُومٌ، وَآخَرُ غَالٍ فِي الدِّينِ مَارِقٌ مِنْه
“Dua golongan yang tidak akan mendapatkan syafa’atku: pemimpin
zalim lagi penipu dan orang yang berlebih-lebihan dalam agama keluar darinya.”
(HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah 1/23 dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul
Kabir 20/214 dan dishahihkan al-Albani)
3. Suka melaknat tanpa aturan
Hal ini berdasarkan hadits:
إِنَّ اللَّعَّانِينَ لاَ يَكُونُونَ شُهَدَاءَ وَلاَ شُفَعَاءَ
يَوْمَ الْقِيَامَة
Sesungguhnya para pelaknat tidak akan menjadi saksi dan pemberi
syafa’at kelak pada hari Kiamat. (HR Muslim: 6777)
Klasifikasi Manusia
Dalam Menyikapi Syafa’at
Manusia dalam menyikapi masalah syafa’at terbagi menjadi tiga
golongan:
Golongan yang mengingkari syafa’at yaitu Khawarij dan
Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang yang berhak masuk masuk neraka maka
pasti akan memasukinya dan tidak akan keluar darinya.
Golongan yang berlebih-lebihan dalam syafa’at yaitu kaum
Quburiyyun (pengeramat/pemuja kuburan) dan ahli khurafat yang bergantung kepada
penghuni kubur dan meminta syafa’at dari mereka, berdo’a kepada mereka,
menyembelih untuk mereka sehingga jika mereka ditegur: “Ini perbuatan syirik”
mereka menjawab, “Kita hanya mencari syafa’at.”
Golongan yang bersikap tengah-tengah yaitu Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Mereka tidak mengingkari syafa’at secara mutlak sebagaimana kaum
Khawarij dan Mu’tazilah dan juga tidak berlebihan sebagaimana kaum Quburiyyun
dan ahli khurafat.[31]
Kelompok Menyimpang Dalam Syafa’at
Adapun kelompok yang menyimpang dalam masalah ini ada dua
golongan:
1. Khawarij dan
Mu’tazilah
Sebagaimana keterangan di atas bahwa
“syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk umatnya yang berdosa besar adalah kesepakatan di kalangan
sahabat, tabi’in, seluruh imam empat, dan selainnya.[32] Namun hal ini
diingkari oleh mayoritas ahli bid’ah dari Khawarij, Mu’tazilah, dan
Zaidiyyah,[33] mereka berpendapat bahwa seorang yang masuk neraka tidak akan
keluar darinya selama-lamanya, baik karena syafa’at atau lainnya. Menurut
mereka tidak ada saat itu kecuali golongan yang masuk surga dan tidak masuk
neraka, dan golongan yang masuk neraka dan tidak masuk surga. Adapun berkumpul
pada diri seorang nikmat surga dan adzab maka tidak ada.”[34]
Di antara syubhat mereka adalah beberapa ayat ancaman yang
secara lahiriah meniadakan syafa’at. Az-Zamakhsyari[35]—semoga Allah mengampuninya—berkomentar
tentang ayat:
رَبَّنَآ إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ ٱلنَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُۥ ۖ
وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍۢ ﴿١٩٢
Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim seorang penolong pun. (QS Ali Imran [3]: 192)
“Ayat ini menetapkan dalil bahwa orang yang masuk neraka, maka
tidak ada penolong baginya, baik dengan syafa’at atau selainnya.”[36]
Dia juga berkata tatkala menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 48,
“Apakah dalam ayat ini terdapat dalil bahwa syafa’at itu tidak diterima bagi
ahli maksiat? Saya jawab: Ya.”[37]
Jawaban:
Ucapan ini adalah batil sekali, karena bertentangan dengan
sunnah mutawatirah dan ijma’ para sahabat serta ulama salaf setelahnya. Tidak
satu pun sahabat yang berpemahaman demikian, bahkan mereka semua sepakat
menentang keras pemahaman tersebut. Lantas, apakah kaum Mu’tazilah mendapatkan
hidayah sedangkan para sahabat tidak?!!
Imam al-Ajurri Rahimahullah telah membantah syubhat ini secara
panjang lebar; di antaranya beliau mengatakan, “Sesungguhnya orang yang
mendustakan syafa’at telah keliru dengan kekeliruan yang amat parah, mereka
keluar dari rel al-Qur‘an dan sunnah dengan mencomot ayat-ayat yang
diperuntukkan bagi orang-orang kafir lalu mereka pasang untuk orang-orang Islam
yang bertauhid, mereka tidak melirik hadits-hadits yang begitu banyak tentang
syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bagi pelaku dosa besar. Akibatnya mereka keluar dari jalan ahli
iman dan mengikuti selain jalan mereka.
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS an-Nisa‘
[4]: 115)
Maka setiap orang yang menolak sunnah Rasul dan sahabatnya,
berarti dia telah menentang Rasul dan memaksiatinya.”[38]
Salah satu kisah menarik tentang
masalah ini adalah kisah Thalq bin Habib,[39] katanya, “Dahulu aku adalah orang
yang paling kuat dalam mendustakan syafa’at, hingga aku berjumpa dengan Jabir
bin AbdullahRahimahullah, maka aku bacakan seluruh ayat yang aku mampu tentang kekalnya
ahli neraka, lalu beliau berkata padaku, ‘Wahai Thalq, apakah kamu mengira
dirimu lebih pandai tentang al-Qur‘an dan sunnah NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam daripada diriku?’
Saya jawab, ‘Tidak, bahkan engkaulah yang lebih tahu tentang al-Qur‘an dan
Sunnah daripadaku.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya maksud dari ayat-ayat yang
engkau bacakan tadi adalah orang-orang musyrik…’”[40]
2. Kaum Quburiyyun
dan tarekat Sufi
Sebagaimana telah kita jelaskan juga bahwa syafa’at itu adalah
hak mutlak Allah dan memiliki syarat-syarat tertentu yaitu izin Allah kepada
pemberi syafa’at dan ridha-Nya untuk yang diberi syafa’at. Dan Allah tidak
ridha kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertauhid. Namun, kaum
Quburiyyun menyelisihi hal itu, mereka menetapkan syafa’at untuk wali-wali
mereka yang telah meninggal dunia dan meminta kepada mereka di alam dunia
sebagaimana kaum musyrikin meminta kepada berhala-berhala mereka. Mereka
menyamakan seperti syafa’at para raja di dunia.
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن
دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ
زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَـٰذِبٌۭ كَفَّارٌۭ ﴿٣
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka
tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS az-Zumar [39]: 3)
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا
يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ
أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَلَا فِى
ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿١٨
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka
berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.”
Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya
baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan
apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS Yunus [10]: 18)
Kita jawab:
Syafa’at di akhirat tidak sama seperti syafa’at manusia di dunia
karena syafa’at di akhirat harus dengan izin dan ridha Allah. Adapun anggapan
mereka bahwa para wali tersebut bisa memberikan manfaat atau menolak mudarat
maka itu adalah anggapan yang batil secara dalil dan akal, sebab orang yang
meninggal dunia tidak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang hidup, justru
mereka sangat membutuhkan do’a dari orang yang hidup.
Menarik sekali apa yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Lathif alu
Syaikh bahwa ada sebagian tokoh agama yang berdalil bahwa para wali itu memiliki
kemampuan di kuburnya sehingga dimintai do’a, dia berdalil dengan ayat:
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا
ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ﴿١٦٩
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS
Ali Imran [3]: 169)
Maka seorang awam kaum muslimin ada yang menjawab, “Kalau memang
bacaannya adalah ‘yarzuqun’ (mereka memberi rezeki) maka itu benar, tetapi
kalau tidak maka ayat ini malah membantah dirimu sendiri.”[41]
Syafa’at Dalam
Urusan Dunia
Syafa’at dalam urusan dunia terbagi menjadi dua:
1. Terpuji dan
disyari’atkan
yaitu syafa’at dalam perkara-perkara yang mubah sehingga
memberikan manfaat kepada orang lain atau menolak madharat dari orang lain
tanpa menerjang hak Allah atau hak manusia. Allah berfirman:
مَّن يَشْفَعْ شَفَـٰعَةً حَسَنَةًۭ يَكُن لَّهُۥ نَصِيبٌۭ
مِّنْهَا ۖ وَمَن يَشْفَعْ شَفَـٰعَةًۭ سَيِّئَةًۭ يَكُن لَّهُۥ كِفْلٌۭ مِّنْهَا
ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ مُّقِيتًۭا ﴿٨٥
Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang
buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (QS an-Nisa‘ [4]: 85)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا
“Berikanlah syafa’at, niscaya kalian akan diberi pahala.” (HR
Bukhari 2/18 dan Muslim 4/2026)
2. Tercela dan
terlarang
Yaitu syafa’at untuk menggugurkan hukum Allah atau menzalimi
orang lain atau membatalkan hak orang lain. Allah berfirman dalam QS Al-Maidah:
2.
عن عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّ قُرَيْشًا
أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الَّتِيْ سَرَقَتْ فِيْ عَهْدِ النَّبِيِّ
فِيْ غَزْوَةِ الْفَتْحِ فَقَالُوْا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيْهَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَالُوْا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلاَّ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ
حِبُّ رَسُوْلِ اللَّهِ . فَأُتِيَ بِهَا رَسُوْلَ اللَّهِ
فَكَلَّمَهُ فِيْهَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُوْلِ اللَّهِ
فَقَالَ: أَتَشْفَعُ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ
أُسَامَةُ: اسْتَغْفِرْ لِيْ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. فَلَمَّا كَانَ الْعَشِيُّ
قَامَ رَسُوْلُ اللَّهِ فَاخْتَطَبَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ
ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ من قَبْلِكُمْ
أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَإِذَا سَرَقَ
فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ. وَإِنِّي وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
ثُمَّ أَمَرَ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ الَّتِيْ سَرَقَتْ فَقُطِعَتْ يَدُهَا. قَالَ
يُونُسُ قَالَ بْنُ شِهَابٍ قَالَ عُرْوَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ فَحَسُنَتْ
تَوْبَتُهَا بَعْدُ وَتَزَوَّجَتْ وَكَانَتْ تَأتِينِي بَعْدَ ذَلِكَ فَأَرْفَعُ
حَاجَتَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya Quraisy
menaruh perhatian pada kasus seorang wanita yang mencuri pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saat fathu Makkah
lantas mereka berkata, “Siapakah yang berani untuk melobi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Mereka
mengatakan, “Siapakah yang berani untuk hal itu kalau bukan Usamah bin Zaid
kekasih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam?” Maka Usamah melobi Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam tentang kasus wanita tersebut. Mendengar hal itu, maka
wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam berubah seraya mengatakan, “Apakah engkau memberi syafa’at
(perantara pertolongan) dalam penegakan hukum Allah?” Mendengar kemarahan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, maka Usamah Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Mohonkanlah untukku ampunan, wahai Rasulullah.” Sore
harinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam berdiri lalu berkhotbah dan memuji Allah yang berhak dipuji,
kemudian beliau berkata, “Adapun setelah itu, sesungguhnya faktor penyebab
kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah apabila orang yang bangsawan di
antara mereka mencuri maka mereka dibiarkan (tidak dihukum), namun apabila yang
mencuri adalah rakyat kecil (miskin) maka mereka langsung dihukum. Demi Dzat
yang jiwaku di tangan-Nya (Allah), seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri
niscaya saya akan memotong tangannya.” Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallammemerintahkan agar
wanita tersebut segera dipotong tangannya. Berkata Yunus: Berkata Ibnu Syihab
(Imam Zuhri): Berkata Urwah: Berkata Aisyah Radhiallahu
‘Anha, “Akhirnya setelah itu, wanita tersebut bertaubat dengan bagus
dan menikah. Terkadang dia datang kepadaku lalu aku sampaikan hajatnya kepada
RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR Bukhari 7/16
dan Muslim 3/1315)
Meminta Syafa’at
Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Selainnya
Kami akhiri dengan dengan pembahasan
penting seputar hukum meminta syafa’at kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kapan
diperbolehkan dan kapan terlarang. Masalah ini diperinci sebagai berikut[42]:
Meminta syafa’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam urusan dunia ketika beliau masih hidup hukumnya boleh,
sebagaimana keterangan perinciannya dalam pembahasan sebelumnya di atas.
Meminta syafa’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam urusan
akhirat maka diperinci sebagai berikut:
Jika itu saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam hidup dan ada maka
boleh, karena hal itu sama halnya dengan meminta do’a kepada orang shalih yang
masih hidup. Dahulu, para sahabat Nabi bertawassul kepada Allah dengan do’a dan
syafa’at beliau.[43] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menukil kesepakatan
ulama tentang bolehnya, kata beliau, “Adapun syafa’at dan do’a beliau kepada
kaum mukminin maka hal itu bermanfaat di dunia dan agama dengan kesepakatan
kaum muslimin.”[44]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
a قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ n أَنْ يَشْفَعَ لِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَقَالَ: أَنَا فَاعِلٌ
قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَيْنَ أَطْلُبُكَ؟ قَالَ: اطْلُبْنِي
أَوَّلَ مَا تَطْلُبُنِي عَلَى الصِّرَاطِ
…
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Saya
meminta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam agar memberikan syafa’at padaku kelak pada hari Kiamat, maka
beliau mengatakan, ‘Saya akan lakukan.’ Saya bertanya, ‘Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di manakah saya
mencari engkau?’ Beliau mengatakan, ‘Carilah aku awal kamu mencariku di shirath
(jembatan)…’” (HR Tirmidzi 4/621, Ahmad 3/178 dan dishahihkan al-Albani dalam
Silsilah ash-Shahihah: 2433)
Namun, perlu ditandaskan di sini
bahwa syafa’at beliau tidak pasti terwujud untuk semua orang yang memintanya
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamsaat hidup, tetapi harus memenuhi syarat
syafa’at. Oleh karenanya, Allah melarang Nabi-Nya Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dari memohonkan ampun untuk pamannya Abu Thalib dan tidak
memberikan izin untuk mendo’akan ibunya.
Jika itu setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mati yaitu di alam
barzakh maka tidak boleh bahkan termasuk bid’ah.
Hal itu karena ibadah dibangun di
atas dalil bukan hawa nafsu, sedangkan hal itu tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat padahal mereka adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan.
Syaikhul Islam mengatakan, “Meminta syafa’at beliau dan do’a serta istighfar
beliau setelah kematiannya atau di sisi kuburannya tidaklah disyari’atkan oleh
seorang pun ulama dan imam kaum muslimin dan tidak disebutkan oleh seorang pun
imam dari imam-imam empat atau para sahabat mereka yang dahulu. Hal itu hanya
disebutkan oleh orang-orang belakangan[45] … Telah dimaklumi bersama bahwa
seandainya hal itu disyari’atkan tentu para sahabat dan tabi’in lebih tahu dan
lebih mendahului serta disebutkan oleh para imam kaum muslimin. Alangkah
indahnya ucapan Imam Malik Rahimahullah,[46] “Tidak baik
generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi dahulu baik.”[47]
Jika tidak boleh meminta syafa’at
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam setelah mati, maka demikian juga halnya tidak boleh meminta
syafa’at kepada para nabi serta orang-orang shalih yang telah meninggal dunia,
atau kepada para malaikat.
Demikianlah beberapa pembahasan tentang masalah syafa’at. Semoga
tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya, marilah kita berdo’a
agar Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mendapatkan syafa’at
kelak di akhirat. Amin.
Oleh Ustadz Abu Ubaidah
Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
======
[1] Sebagian ulama membahasnya secara khusus seperti Imam
adz-Dzahabi, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Dr. Nashir al-Judai’, dan Syaikh
Dr. Abdullah al-Ghufaili juga memiliki tulisan yang bagus tentang syafa’at, dimuat
dalam Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 64, 1422 H. Dan makalah ini banyak
mengambil faedah darinya dan kitab as-Syafa’ah ’inda Ahli Sunnah oleh Dr.
Nashir al-Judai’. Perhatikanlah!!
[2] Mu’jam Maqayis Lughah 3/201 karya Ibnu Faris
[3] Al-Jami’ li Ahkamil Qur‘an 5/295 oleh al-Qurthubi
[4] Al-Mufradat fi Gharibil Qur‘an hlm. 263
[5] Lihat Lawami’ul Anwar 2/204 oleh as-Saffarini, at-Ta’rifat
hlm. 127 oleh al-Jurjani, an-Nihayah fi Gharibil Hadits 5/485 oleh Ibnul Atsir,
Syarh Lum’atil I’tiqad hlm. 128 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[6] Al-Qaulul Mufid ’ala Kitab Tauhid 1/330 oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin
[7] Lihat as-Sunnah Ibnu Abi Ashim 2/399, Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyyah 1/314, Lawami’ul Anwar al- Bahiyyah oleh as-Saffarini 2/208.
[8] Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam
al-Istidzkar 8/136.
[9] Ma’arijul Qabul 2/256
[10] Lihat Risalah ila Ahli Tsaghar hlm. 90 oleh Abul Hasan
al-Asy’ari, Syarh Muslim oleh an-Nawawi 3/35, ad-Dinul Khalish 2/22 oleh
Shiddiq Hasan Khan.
[11] Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari’ah hlm. 337,
al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad 6/1110 dan dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 11/426.
[12] Lihat al-Ala‘i al-Bahiyyah fi Syarhi Aqidah al-Wasithiyyah
1/275 oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh.
[13] Tahdzib Sunan Abu Dawud 13/56—Aunul Ma’bud
[14] Ighatsatul Lahfan 1/220
[15] Majmu’ Fatawa 1/313
[16] Lihat Shahihul Bukhari 5/225
[17] Jami’ul Bayan 15/143–144
[18] Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/286 oleh Ibnu Abil
Izzi al-Hanafi dan Syarh Lum’atil I’tiqad hlm. 129 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
[19] Sebagaimana ditegaskan oleh para ulama ahli hadits, seperti
Imam Ibnu Abi Ashim, Ibnu Abdil Barr, al-Qadhi Iyadh, Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dll. (Lihat nukilan ucapan mereka dalam buku
saya Membela Hadits Nabi hlm. 330–332, cet. Media Tarbiyah.
[20] Shahih. Lihat takhrijnya secara lengkap dan panjang dalam
buku saya Membela Hadits Nabi hlm. 326–329.
[21] Dua jenis ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam an-Nihayah
fil Fitan wal Malahim 2/204–206. Namun, hadits-hadits yang beliau bawakan tidak
shahih dari Nabi n\. Dua syafa’at ini ditetapkan oleh an-Nawawi dalam Syarh
Muslim 3/35, Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa 3/147, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
11/428, dan as-Saffarini dalam Lawami’ul Anwar 2/211. Namun, Ibnul Qayyim
tawaqquf (diam dan tidak menetapkan) dalam Tahdzibus Sunan 7/134 dan ini
dikuatkan oleh Dr. Nashir al-Judai’ dalam asy-Syafa’ah ’inda Ahli Sunnah hlm.
59.
[22] Lawami’ul Anwar 2/209 oleh as-Saffarini
[23] Lathaiful Ma’arif hlm. 182
[24] Majmu’ Fatawa 1/414
[25] HR Muslim: 384
[26] Ta’liq Fadhlush Shalah ’ala Nabi hlm. 49–50
[27] Lihat tentang hadits-hadits seputar masalah ini serta
penjelasan lemahnya secara bagus dalam ash-Sharimul Munki Ibnu Abdil Hadi,
Shiyanatul Insan ’an Waswasah Syaikh Dahlan hlm. 49–70 karya Muhammad Basyir
al-Hindi, Irwaul Ghalil no. 1127–1128 karya al-Albani, Tanbihu Zairil Madinah
hlm. 16–30 karya Dr. Shalih as-Sadlan dan al-Ahaditsul Waridah fi Fadhailul
Madinah hlm. 483–595 karya Dr. Shalih ar-Rifa’i, Audhahul Isyarah hlm. 131–172
karya Ahmad an-Najmi.
[28] Syifaush Shudur fi Ziyaratil Masyahid wal Qubur karya Mar’i
bin Yusuf al-Karmi hlm. 168
[29] Rihlatush Shiddiq ila Baitil ’Atiq karya Shiddiq Hasan Khan
hlm. 146
[30] Qa’idah Jalilah fi Tawassul wal Wasilah hlm. 57
[31] Syarh Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab hlm. 81,
Syarh al-Manzhumah al-Haiyah hlm. 175, Syarh Aqidah al-Washitiyyah hlm. 206,
semuanya karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[32] Lihat pula Risalah Ahli Saghr hlm. 286–288 oleh Imam Abul
Hasan al-Asy’ari.
[33] Lihat pula Maqalat Islamiyyin hlm. 86, 274 oleh Imam Abul
Hasan al-Asy’ari.
[34] Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hlm. 11 oleh Ibnu
Taimiyyah
[35] Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang cukup populer,
fanatik ekstrem terhadap madzhab Mu’tazilah, menggunakan kemahiran bahasanya
untuk membela madzhab yang batil, ditambah lagi miskin sekali dalam bidang
hadits. Kitab tafsirnya al-Kasysyaf berisi penuh dengan pemikiran-pemikiran
Mu’tazilah dan serangan terhadap Ahli Sunnah. (Lihat al-Aqwal asy-Syadhah fi
Tafsir hlm. 69–70 oleh Syaikhuna Dr. Abdurrahman bin Shalih ad-Dahsy.)
[36] Al-Kasysyaf 1/489
[37] Ibid.
[38] Asy-Syari’ah 3/1192, 1205
[39] Kisah lainnya yang lebih shahih sanadnya adalah Yazid
al-Faqir. Lihat Shahih Muslim: 191, Musnad Abu Awanah 1/180, dll.
[40] Shahih li ghairihi. HR Ahmad 3/330, Lalikai dalam Syarh
Ushul: 2053, Bukhari dalam Adab Mufrad: 818 secara ringkas. Lihat Shahih Adab
Mufrad hlm. 305 dan ash-Shahihah: 3055, Al-Albani.
[41] Tuhfah Thalib al-Jalis hlm. 56
[42] Asy-Syafa’ah ’inda Ahli Sunnah hlm. 99–102 oleh Dr. Nashir
al-Juda’i
[43] Ar-Raddu ’ala al-Bakri oleh Ibnu Taimiyyah hlm. 388
[44] Majmu’ Fatawa 1/148
[45] Termasuk kitab yang menghimpun ucapan-ucapan mereka adalah
kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi karya Yusuf bin Ismail
an-Nabhani, yang telah dibantah oleh Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi dalam
kitabnya Ghayatul Amani fir Raddi ’ala Nabhani. (Lihat Kutub Hadzdzara Minha
Ulama 1/269 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman.)
[46] Asy-Syifa‘ 2/88 oleh al-Qadhi Iyadh
[47] Majmu’ Fatawa 1/241