News Update :

Powered by Blogger.

Manhaj Feed

AQIDAH feed

Doa dan Dzikir Feed

AMALAN Feed

Rujuk dari Kekeliruan Apabila Kebenaran Telah Nampak

Friday, May 23, 2014


Sifat ini merupakan kesempurnaan kewaraan dan kejujuran seseorang. Orang yang jujur tidak akan berdiri dengan kaki lemah dan goyah di hadapan dirinya ketika telah jelas kekeliruan padanya. Ia tidak akan membayangkan hal itu akan mengurangi kedudukannya dan tidak pula melemahkan kewibawaannya. Bahkan, ia akan bersegera memegang kendali kebenaran dan menggigitnya dengan gigi gerahamnya. Tentu saja, ini membutuhkan penghapusan hawa nafsu dan anggapan kesucian diri.

As-salafush-shaalih telah mengajarkan kepada kita manhaj yang jelas lagi terang dalam permasalahan ini. Inilah dia ‘Umar bin Al-Khaththaab yang menulis sepucuk surat kepada Abu Muusaa

Keutamaan Menuntut Ilmu dan Adab-Adab Penuntut Ilmu

Thursday, May 22, 2014

Diantara perkara mulia yang hendaknya menjadi kesibukan kita adalah menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu yang bersumber dari keduanya adalah cahaya dan pelita bagi pemiliknya, sehingga nampak jelas baginya kegelapan kebatilan dan kesesatan. Orang yang memiliki ilmu akan dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebatilan, sunnah dan bid’ah. Maka ilmu adalah perkara mulia yang hendaknya menjadi perhatian setiap muslim, perkara yang harus diutamakan. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada perkataan dan perbuatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ  [محمد:19]
“Ketauhilah, sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.”  [Muhammad : 16]
Didalam ayat diatas Allah lebih mendahulukan ilmu daripada perkataan dan perbuatan.

Kupas Tuntas tentang Syafa'at

Wednesday, May 21, 2014

Sesungguhnya masalah syafa’at termasuk pembahasan penting yang wajib diketahui oleh seorang muslim karena beberapa sebab:
1. Masalah ini termasuk cabang iman kepada hari akhir yang merupakan rukun iman
2. Mempelajarinya akan menambah iman dan cinta kita kepada Allah dan rasul-Nya
3. Mengenal luasnya rahmat Allah kepada hamba-Nya, kasih sayang rasulullah kepada umatnya dan agungnya agama Islam
4. Banyaknya penyimpangan dalam masalah ini sehingga menjerumuskan manusia kepada kesyirikan
5. Perhatian para ulama tentang masalah ini, karena mereka selalu membahasnya dalam kitab-kitab mereka, bahkan ada yang membukukannya secara khusus[1]
Tulisan ini adalah pembahasan ilmiah secara sistematis dengan harapan agar kita memahami masalah ini secara gamblang.
Definisi Syafa’at
Syafa’at secara bahasa adalah genap lawan kata ganjil.[2] Disebut demikian karena dia yang awalnya ganjil tetapi setelah bergabung dengan pemilik hajat maka menjadi genap.[3] Ar-Raghib al-Asfahani Rahimahullahberkata, “Bergabung dengan lainnya sebagai penolong baginya. Dan paling sering digunakan untuk bergabungnya yang lebih mulia kedudukannya kepada yang lebih rendah, di antaranya adalah syafa’at pada hari Kiamat.”[4]
Adapun definisinya secara istilah adalah memintakan untuk orang lain agar mendapatkan manfaat atau terhindar dari mudarat.[5]
Contoh untuk mendapatkan manfaat adalah syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada penduduk surga agar lekas memasukinya. Sementara itu, contoh untuk menolak mudarat adalah syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak memasukinya.
Tujuan dari syafa’at adalah: (1) untuk memuliakan pemberi syafa’at, (2) untuk memberikan manfaat kepada yang diberi syafa’at.[6]
Dalil-Dalil Syafa’at
Syafa’at ditetapkan dalam al-Qur‘an, hadits, dan ijma’. Perinciannya sebagai berikut:
Dalil al-Qur‘an
يَوْمَئِذٍۢ لَّا تَنفَعُ ٱلشَّفَـٰعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وَرَضِىَ لَهُۥ قَوْلًۭا  ١٠٩
Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (QS Thaha [20]: 109)
وَكَم مِّن مَّلَكٍۢ فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ لَا تُغْنِى شَفَـٰعَتُهُمْ شَيْـًٔا إِلَّا مِنۢ بَعْدِ أَن يَأْذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَىٰٓ  ٢٦
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya). (QS an-Najm [53]: 26)
Dalil Hadits
Hadits-hadits tentang syafa’at banyak sekali banyak mencapai derajat mutawatir[7], di antaranya adalah:
أَسْعَدُ اْلنَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia memperoleh syafa’atku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR Bukhari: 99, 6570)
Dalil Ijma’
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama bersepakat mengimani syafa’at, bahkan menjadikan hal ini sebagai salah satu pokok aqidah mereka.[8] Al-Allamah Hafizh al-Hakami mengatakan, “Syafa’at adalah haq (benar adanya), diimani oleh seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana diimani oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.”[9] Ijma’ ini dinukil oleh banyak ulama.[10] Oleh karenanya, hampir tidak ada satu kitab pun yang membahas tentang aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang ditulis oleh ulama-ulama salaf kita kecuali ada pembahasan tentangnya. Maka alangkah menariknya ucapan Sahabat Anas bin Malik Radhialllahu ‘Anhu, “Barangsiapa mendustakan syafa’at, maka dia tidak mendapatkan bagian dari syafa’at.”[11]
Syarat-Syarat Syafa’at
Syafa’at memiliki dua syarat yang harus terpenuhi, jika salah satunya tidak terpenuhi maka tidak akan terwujud syafa’at, yaitu[12]:
Pertama: Izin Allah kepada pemberi syafa’at
Hal ini berdasarkan firman Allah:
مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ
Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. (QS al-Baqarah [2]: 255)
وَلَا تَنفَعُ ٱلشَّفَـٰعَةُ عِندَهُۥٓ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُۥ ۚ
Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu. (QS Saba‘ [34]: 23)
Kedua: Ridha Allah terhadap orang yang memberi syafa’at dan yang diberi syafa’at, di mana dia termasuk ahli tauhid yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
يَوْمَئِذٍۢ لَّا تَنفَعُ ٱلشَّفَـٰعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وَرَضِىَ لَهُۥ قَوْلًۭا ﴿١٠٩﴾
Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (QS Thaha [20]: 109)
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرْتَضَىٰ
Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah. (QS al-Anbiya‘ [21]: 28)
Jadi, syafa’at kelak pada hari Kiamat tidak terwujudkan kecuali bagi siapa yang diizinkan oleh Allah dan diridhainya. Sampai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sekalipun, beliau tidak bisa memberikan syafa’at begitu saja kecuali setelah diizinkan oleh Allah, sebagaimana dalam hadits yang panjang tentang syafa’at, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
فَأَسْتَأْذِنُ عَلَى رَبِّي فَيُؤْذَنُ لِي وَيُلْهِمُنِي مَحَامِدَ أَحْمَدُهُ بِهَا
“Maka aku meminta izin kepada Rabbku, lalu diizinkan bagiku, dan Allah memberikan ilham kepadaku berupa pujian-pujian kepada-Nya sehingga aku memuji Allah dengannya.” (HR Bukhari 8/200, Muslim 1/180)
Dan Allah tidak ridha kecuali kepada ahli tauhid, sebagaimana dalam hadits:
أَسْعَدُ اْلنَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia memperoleh syafa’atku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR Bukhari: 99, 6570)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat rahasia pentingnya tauhid, sebab syafa’at hanya diperoleh dengan pemurnian tauhid, siapa yang sempurna tauhidnya, maka berhak mendapat syafa’at, bukan dengan syirik seperti yang dilakukan mayoritas orang.”[13]
Macam-Macam Syafa’at
Syafa’at terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Syafa’at yang ditetapkan
Allah banyak menyebutkan dalam al-Qur‘an penetapan syafa’at setelah mendapatkan izin dan ridha Allah, seperti dalam firman-Nya:
وَكَم مِّن مَّلَكٍۢ فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ لَا تُغْنِى شَفَـٰعَتُهُمْ شَيْـًٔا إِلَّا مِنۢ بَعْدِ أَن يَأْذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَىٰٓ  ٢٦
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya). (QS an-Najm [53]: 26)
Kedua: Syafa’at yang ditiadakan
Dalam ayat-ayat lain, Allah meniadakan syafa’at, karena itu adalah syafa’at yang batil yaitu syafa’at syirik, seperti dalam firman Allah:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَـٰعَةُ ٱلشَّـٰفِعِينَ ﴿٤٨
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at. (QS al-Muddatstsir [74]: 48)
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿١٨
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS Yunus [10]: 18)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah mengatakan, “Syafa’at yang dibatalkan adalah syafa’at syirik, karena tidak ada sekutu bagi Allah. Adapun syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at hamba yang tidak dapat memberi syafa’at dan tidak maju di hadapan Allah sehingga Dia mengizinkannya seraya mengatakan: ‘Berilah syafa’at kepada fulan.’ Oleh karenanya, orang yang paling bahagia dengan syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kelak pada hari Kiamat adalah ahli tauhid yang memurnikan tauhid hanya kepada Allah dan membersihkannya dari noda-noda syirik.”[14]
Syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Syafa’at beliau yang khusus untuk dirinya pribadi
Kedua: Syafa’at yang umum, untuk dirinya dan lainnya juga dari para nabi dan orang shalih.[15]
Berikut penjelasannya secara lebih terperinci:
A. Syafa’at khusus
Syafa’at yang khusus untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut:
1. Syafa’at uzhma (sangat besar)
Yaitu syafa’at beliau kepada manusia dari dahsyatnya hari itu agar disegerakan hisab dan pengadilan Allah, di mana manusia telah meminta kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, namun mereka semua udzur, lalu mereka meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian beliau memohon syafa’at kepada Allah dan dikabulkan.[16]
Syafa’at ini adalah syafa’at yang paling utama dan mencakup umum untuk semua makhluk apa pun agamanya. Syafa’at jenis ini disepakati ulama tentang kebenarannya. Di antara dalilnya adalah firman Allah:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةًۭ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًۭا مَّحْمُودًۭا ﴿٧٩
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS al-Isra‘ [17]: 79)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Mayoritas ahli ilmu menjelaskan bahwa maksud maqam (kedudukan) terpuji dalam ayat ini adalah kedudukan beliau pada hari Kiamat untuk memberikan syafa’at saat manusia merasakan dahsyatnya hari itu.”[17]
2. Syafa’at beliau terhadap penduduk surga untuk masuk surga setelah selesai hisab
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik Rahimahullah beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
آتِى بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ فَيَقُولُ الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ فَأَقُولُ مُحَمَّدٌ. فَيَقُولُ بِكَ أُمِرْتُ لاَ أَفْتَحُ لأَحَدٍ قَبْلَكَ
“Saya datangi pintu surga pada hari Kiamat lalu aku minta dibukakan, lantas Khazin (Malaikat penjaga) berkata: ‘Siapa kamu?’ Aku menjawab: ‘Muhammad.’ Lantas dia mengatakan: ‘Untukmu aku diperintahkan agar tidak membukakan pintu kepada seorang pun sebelummu.’” (HR Muslim 1/188)
3. Syafa’at untuk meringankan siksaan pamannya yaitu Abu Thalib
Hal ini berdasarkan hadits Abbas bin Abdul Muththalib  bahwasanya dia pernah bertanya kepada NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ
“Ya Rasulullah, apakah engkau memberikan manfaat kepada pamanmu dengan sesuatu, sebab dia telah melindungimu dan marah untuk menjagamu?” Beliau menjawab, “Ya, di muka neraka, seandainya bukan karena saya (syafa’at saya) niscaya dia berada di paling dasar neraka.” (HR Bukhari 4/247, Muslim 1/195)
Dan juga berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhialllahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallampernah disebut di sisinya Abu Thalib, paman beliau, maka beliau bersabda:
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ يَغْلِي مِنْهُ دِمَاغُه
“Semoga syafa’atku bermanfaat baginya pada hari Kiamat, dia dijadikan di muka neraka hingga sampai kedua mata kakinya, memanas otaknya.” (HR Bukhari 7/203)
B. Syafa’at Umum
Adapun syafa’at umum, untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan juga lainnya dari kalangan para nabi dan orang shalih adalah sebagai berikut:
1. Syafa’at untuk mengangkat derajat sebagian ahli surga
Di antara dalilnya adalah hadits Ummu Salamah Radhialllahu ‘Anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendo’akan untuk Abu Salamah Radhialllahu ‘Anhu tatkala dia meninggal dunia:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِى سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِى عَقِبِهِ فِى الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِى قَبْرِهِ. وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ
“Ya Allah, ampunilah Abu Salamah dan tinggikanlah derajatnya bersama orang-orang yang diberi petunjuk, dan berilah penggantinya bagi anak-anaknya, ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah kuburnya dan sinarilah untuknya dalam kuburnya.” (HR Muslim 2/634)
2. Syafa’at untuk masuknya sebagian kaum mukminin ke surga tanpa hisab
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Umamah al-Bahili Radhialllahu ‘Anhu, beliau mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
وَعَدَنِي رَبِّي أَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعِينَ أَلْفًا لاَ حِسَابَ عَلَيْهِمْ وَلاَ عَذَابَ مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ أَلْفًا وَثَلاَثُ حَثَيَاتٍ مِنْ حَثَيَاتِه
“Rabbku menjanjikanku untuk memasukkan ke surga tujuh puluh ribu umatku tanpa hisab dan tanpa adzab, bersama setiap seribu tambahan tujuh puluh ribu dan tiga cakupan-Nya.” (HR Tirmidzi 4/626 dan dishahihkan oleh al-Albani)
3. Syafa’at untuk pelaku dosa besar
Syafa’at jenis ini adalah syafa’at yang disepakati oleh ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari kalangan sahabat, tabi’in, seluruh imam empat, dan selainnya, namun diingkari oleh mayoritas ahli bid’ah dari Khawarij dan Mu’tazilah.
Jenis syafa’at tersebut karena jenis itulah yang menjadi ajang pergulatan ilmiah antara Ahli Sunnah versus ahli bid’ah. Oleh karenanya pula, terkadang para ulama memutlakkan kata “syafa’at” pada jenis ini, dengan tujuan untuk membantah paham Khawarij dan Mu’tazilah.[18]
Hadits-hadits tentang syafa’at jenis ini adalah derajatnya mutawatir[19]. Di antara dalilnya adalah:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ اْلنَّبِيَّ قَالَ: شَفَاعَتِيْ لأَهْلِ اْلكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِيْ
Dari Anas bin Malik Radhialllahu ‘Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Syafa’atku untuk pelaku dosa besar dari umatku.”[20]
4. Syafa’at kepada kaum yang diperintahkan untuk dimasukkan ke neraka agar tidak masuk ke neraka
5. Syafa’at kepada kaum yang sama antara kebaikan dan kejelekan mereka agar masuk surga.[21]
Syafa’at Selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Perlu diketahui bahwa selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik malaikat, rasul, sahabat, syuhada, para kekasih Allah sesuai dengan kedudukan mereka di sisi Allah, dapat memberikan syafa’at berdasarkan hadits-hadits yang banyak sekali. Dan ini adalah perkara yang boleh dan bukan hal mustahil, maka wajib diimani dan dipercayai.[22]
Di antara makhluk yang bisa memberi syafa’at selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah:
1. Malaikat
2. Para nabi
3. Kaum mukminin
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhialllahu ‘Anhu:
فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتِ الْمَلاَئِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Allah berfirman: ‘Para malaikat, para nabi, orang-orang mukmin telah memberikan syafa’at, tinggal Dzat yang Maha Penyayang…’” (HR Muslim 1/167–171)
4. Para syuhada
Hal ini berdasarkan hadits Abu Darda’ Radhialllahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallambersabda:
يُشَفَّعُ الشَّهِيدُ فِى سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِه
“Orang syahid memberikan syafa’at kepada tujuh puluh anggota keluarganya.” (HR Abu Dawud 3/34 dan dishahihkan al-Albani)
5. Anak-anak kaum mukminin untuk orang tua mereka
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhialllahu ‘Anhu:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوتُ لَهُمَا ثَلَاثَةُ أَوْلَادٍ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ ، إِلَّا أَدْخَلَهُمَا اللهُ وَإِيَّاهُمْ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ الْجَنَّةَ . قَالَ: يُقَالُ لَهُمْ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ . قَالَ: فَيَقُولُونَ: حَتَّى يَجِيءَ أَبَوَانَا ” قَالَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ . فَيَقُولُونَ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ: ” فَيُقَالُ لَهُمْ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَأَبَوَاكُمْ
“Tidaklah dua orang tua muslim yang ditinggal mati oleh tiga anaknya yang belum baligh kecuali Allah memasukkan keduanya dan anak-anak mereka ke surga dengan rahmat Allah. Dikatakan kepada mereka: ‘Masuklah ke surga.’ Anak-anak tersebut menjawab: ‘Kami tidak akan masuk sehingga orang tua kami datang’, mengatakannya sebanyak tiga kali. Akhirnya, dikatakan kepada mereka: ‘Masuklah ke surga kalian beserta orang tua kalian.’” (HR Ahmad 2/510, Nasai 4/25 dan dishahihkan al-Albani)
Amalan-Amalan Pemberi Syafa’at
Ada beberapa amalan ibadah yang bisa memberikan syafa’at kepada pelakunya kelak di akhirat nanti. Hal ini wajib diimani karena hadits-haditsnya shahih. Di antaranya adalah:
1. Al-Qur‘an
Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah al-Bahili Radhialllahu ‘Anhu, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه
“Bacalah al-Qur‘an karena ia akan datang pada hari Kiamat kelak untuk memberikan syafa’at kepada pembacanya.” (HR Muslim 1/553)
2. Puasa
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr Radhialllahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al-Qur‘an akan memberikan syafa’at kepada hamba kelak pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah mencegahnya dari syahwat di siang hari maka berilah aku syafa’at untuknya.’ Al-Qur‘an juga berkata, ‘Saya telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berilah aku syafa’at untuknya.’ Lalu keduanya diberi syafa’at untuk pelakunya.” (HR Abu Dawud 2/119, Tirmidzi 5/164, dan dishahihkan al-Albani)
Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan, “Puasa memberikan syafa’at bagi orang yang mencegah dari makanan dan syahwat yang haram baik haram karena khusus puasa seperti makan, minum, serta hubungan badan dengan istri, atau haram bukan karena khusus puasa seperti ucapan haram, mendengar haram, pandangan haram, pekerjaan haram. Maka, jika puasa dapat mencegah hamba dari perbuatan-perbuatan haram tersebut niscaya akan memberikan syafa’at baginya. Adapun orang puasa tetapi tidak mencegah diri dari dosa-dosa maka pantas jika wajahnya ditampar. Demikian halnya dengan al-Qur‘an, ia memberikan syafa’at bagi orang yang menjaga hak al-Qur‘an.”[23]
Kiat Menggapai Syafa’at
Sekalipun syafa’at adalah rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman setelah mendapatkan izin dan ridha-Nya, di sana ada beberapa sebab dan faktor yang menjadikan seorang dapat meraih syafa’at. Di antara faktor tersebut adalah:
1. Tauhid
Tidak ragu lagi bahwa tauhid—yaitu memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah—adalah faktor utama untuk meraih syafa’at, bahkan tauhid adalah syarat utama syafa’at sebagaimana telah lalu penjelasannya. Juga berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
أَسْعَدُ اْلنَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia memperoleh syafa’atku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘La ilaha illa Allah’ ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR Bukhari: 99, 6570)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Syafa’at sebabnya adalah menauhidkan (mengesakan) Allah dan memurnikan agama dan ibadah hanya kepada Allah. Semakin bertauhid seseorang, semakin berhak dia mendapatkan syafa’at.”[24]
2. Membaca al-Qur‘an dan mempelajarinya serta mengamalkan kandungannya
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه
“Bacalah al-Qur‘an karena dia akan datang pada hari Kiamat kelak untuk memberikan syafa’at kepada pembacanya.” (HR Muslim 1/553)
3. Berpuasa wajib dan sunnah ikhlas karena Allah
Hal ini berdasarkan hadits:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al-Qur‘an akan memberikan syafa’at kepada hamba kelak pada hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah mencegahnya dari syahwat di siang hari maka berilah aku syafa’at untuknya.’ Al-Qur‘an juga berkata, ‘Saya telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka berilah aku syafa’at untuknya.’ Lalu keduanya diberi syafa’at untuk pelakunya.” (HR Abu Dawud 2/119, Tirmidzi 5/164, dan dishahihkan al-Albani)
4. Do’a anak shalih
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:
إِنَّ اللَّهَ  لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَك
“Sesungguhnya Allah meninggikan derajat hamba yang shalih di surga lalu dia mengatakan, ‘Wahai Rabbku, dari manakah kedudukan ini?’ Allah menjawab, ‘Karena sebab do’a ampunan anakmu untukmu.’” (HR Ahmad: 5092, Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan al-Albani)
5. Tinggal di kota Madinah
Hal ini berdasarkan hadits:
مَنْ صَبَرَ عَلَى لأْوَائِهَا وَشِدَّتِهَا كُنْتُ لَهُ شَهِيدًا أَوْ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَة
“Barangsiapa yang sabar menghadapi kesengsaraannya maka saya akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at baginya kelak pada hari Kiamat.” (HR Muslim 2/1004)
6. Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ d أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ n يَقُولُ: إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوْا اللَّهَ لِيْ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِيْ إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallambersabda, “Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena, barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali, kemudian mintalah kepada Allah wasilah karena itu adalah tempat di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan saya berharap sayalah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memintakan untukku wasilah niscaya halal syafa’at baginya.”[25]
Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada tiga sunnah yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia yaitu menjawab adzan, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamusai menjawab, dan memintakan wasilah untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Anehnya, engkau perhatikan sebagian orang yang meremehkan sunnah-sunnah ini adalah orang yang sangat fanatik memperjuangkan bid’ahnya shalawat muadzin secara keras usai adzan, padahal hal tersebut merupakan kebid’ahan dalam agama dengan kesepakatan ulama. Kalau mereka melakukan hal itu dengan alasan cinta Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lantas kenapakah mereka tidak menghidupkan sunnah ini dan meninggalkan bid’ah tersebut?! Kita memohon hidayah.”[26]
7. Shalat manusia kepada mayit yang bertauhid
Berdasarkan hadits:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيه
“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lalu jenazahnya dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun kecuali mereka akan memberikan syafa’at baginya.” (HR Muslim 2/654)
Masalah Penting: Ziarah Kuburan Nabi 
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam termasuk faktor meraih syafa’at?
Sebagian orang menyebutkan bahwa termasuk kiat untuk meraih syafa’at adalah dengan ziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang mereka nisbahkan kepada beliau dalam masalah ini. Perlu diketahui bahwa ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memang disyari’atkan, tetapi mengatakan bahwa itu adalah sebab meraih syafa’at tidaklah benar, sebab hadits-hadits tentangnya tidak ada yang shahih, seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِيْ أَوْ قَالَ مَنْ زَارَنِيْ كُنْتُ لَهُ شَفِيْعًا أَوْ شَهِيْدًا
“Barangsiapa menziarahi kuburanku atau menziarahiku maka saya akan memberikan syafa’at baginya atau menjadi saksinya.”[27]
Perlu diketahui bahwa hadits ini memiliki beberapa lafal yang serupa, tetapi semua jalur haditsnya sangat parah kelemahannya ditinjau dari segi ilmu hadits. Tidak ada satu pun hadits yang shahih menurut ahli hadits.[28]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah berkata, “Kebanyakan hadits-hadits ini adalah palsu.”[29] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamsemuanya lemah, tidak bisa dijadikan pijakan dalam agama. Oleh karena itu, tidak ada penulis kitab shahih dan sunan yang meriwayatkannya, namun yang meriwayatkannya adalah sebagian ulama yang meriwayatkan hadits-hadits lemah semisal ad-Daraquthni, al-Bazzar, dan selainnya.”[30]
Penghalang-Penghalang Syafa’at
Ada beberapa hal yang bisa menghalangi seorang dari syafa’at. Hal ini perlu diketahui agar Anda terhindar dari perbuatan-perbuatan tersebut:
1. Syirik kepada Allah
Syirik adalah dosa paling besar yang tidak akan diampuni oleh Allah kecuali jika pelakunya bertaubat. Dalil yang menunjukkan bahwa syirik adalah penghalang syafa’at adalah firman Allah dalam Surat Yasin: 23-24
2. Pemimpin zalim dan sikap berlebih-lebihan dalam agama
Hal ini berdasarkan hadits:
رَجُلانِ مِنْ أُمَّتِي لا يَنَالُهُمَا شَفَاعَتِي: سُلْطَانٌ ظَلُومٌ غَشُومٌ، وَآخَرُ غَالٍ فِي الدِّينِ مَارِقٌ مِنْه
“Dua golongan yang tidak akan mendapatkan syafa’atku: pemimpin zalim lagi penipu dan orang yang berlebih-lebihan dalam agama keluar darinya.” (HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah 1/23 dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir 20/214 dan dishahihkan al-Albani)
3. Suka melaknat tanpa aturan
Hal ini berdasarkan hadits:
إِنَّ اللَّعَّانِينَ لاَ يَكُونُونَ شُهَدَاءَ وَلاَ شُفَعَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَة
Sesungguhnya para pelaknat tidak akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at kelak pada hari Kiamat. (HR Muslim: 6777)
Klasifikasi Manusia Dalam Menyikapi Syafa’at
Manusia dalam menyikapi masalah syafa’at terbagi menjadi tiga golongan:
Golongan yang mengingkari syafa’at yaitu Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang yang berhak masuk masuk neraka maka pasti akan memasukinya dan tidak akan keluar darinya.
Golongan yang berlebih-lebihan dalam syafa’at yaitu kaum Quburiyyun (pengeramat/pemuja kuburan) dan ahli khurafat yang bergantung kepada penghuni kubur dan meminta syafa’at dari mereka, berdo’a kepada mereka, menyembelih untuk mereka sehingga jika mereka ditegur: “Ini perbuatan syirik” mereka menjawab, “Kita hanya mencari syafa’at.”
Golongan yang bersikap tengah-tengah yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka tidak mengingkari syafa’at secara mutlak sebagaimana kaum Khawarij dan Mu’tazilah dan juga tidak berlebihan sebagaimana kaum Quburiyyun dan ahli khurafat.[31]
Kelompok Menyimpang Dalam Syafa’at
Adapun kelompok yang menyimpang dalam masalah ini ada dua golongan:
1. Khawarij dan Mu’tazilah
Sebagaimana keterangan di atas bahwa “syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk umatnya yang berdosa besar adalah kesepakatan di kalangan sahabat, tabi’in, seluruh imam empat, dan selainnya.[32] Namun hal ini diingkari oleh mayoritas ahli bid’ah dari Khawarij, Mu’tazilah, dan Zaidiyyah,[33] mereka berpendapat bahwa seorang yang masuk neraka tidak akan keluar darinya selama-lamanya, baik karena syafa’at atau lainnya. Menurut mereka tidak ada saat itu kecuali golongan yang masuk surga dan tidak masuk neraka, dan golongan yang masuk neraka dan tidak masuk surga. Adapun berkumpul pada diri seorang nikmat surga dan adzab maka tidak ada.”[34]
Di antara syubhat mereka adalah beberapa ayat ancaman yang secara lahiriah meniadakan syafa’at. Az-Zamakhsyari[35]—semoga Allah mengampuninya—berkomentar tentang ayat:
رَبَّنَآ إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ ٱلنَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُۥ ۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍۢ ﴿١٩٢
Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun. (QS Ali Imran [3]: 192)
“Ayat ini menetapkan dalil bahwa orang yang masuk neraka, maka tidak ada penolong baginya, baik dengan syafa’at atau selainnya.”[36]
Dia juga berkata tatkala menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 48, “Apakah dalam ayat ini terdapat dalil bahwa syafa’at itu tidak diterima bagi ahli maksiat? Saya jawab: Ya.”[37]
Jawaban:
Ucapan ini adalah batil sekali, karena bertentangan dengan sunnah mutawatirah dan ijma’ para sahabat serta ulama salaf setelahnya. Tidak satu pun sahabat yang berpemahaman demikian, bahkan mereka semua sepakat menentang keras pemahaman tersebut. Lantas, apakah kaum Mu’tazilah mendapatkan hidayah sedangkan para sahabat tidak?!!
Imam al-Ajurri Rahimahullah telah membantah syubhat ini secara panjang lebar; di antaranya beliau mengatakan, “Sesungguhnya orang yang mendustakan syafa’at telah keliru dengan kekeliruan yang amat parah, mereka keluar dari rel al-Qur‘an dan sunnah dengan mencomot ayat-ayat yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir lalu mereka pasang untuk orang-orang Islam yang bertauhid, mereka tidak melirik hadits-hadits yang begitu banyak tentang syafa’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bagi pelaku dosa besar. Akibatnya mereka keluar dari jalan ahli iman dan mengikuti selain jalan mereka.
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS an-Nisa‘ [4]: 115)
Maka setiap orang yang menolak sunnah Rasul dan sahabatnya, berarti dia telah menentang Rasul dan memaksiatinya.”[38]
Salah satu kisah menarik tentang masalah ini adalah kisah Thalq bin Habib,[39] katanya, “Dahulu aku adalah orang yang paling kuat dalam mendustakan syafa’at, hingga aku berjumpa dengan Jabir bin AbdullahRahimahullah, maka aku bacakan seluruh ayat yang aku mampu tentang kekalnya ahli neraka, lalu beliau berkata padaku, ‘Wahai Thalq, apakah kamu mengira dirimu lebih pandai tentang al-Qur‘an dan sunnah NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam daripada diriku?’ Saya jawab, ‘Tidak, bahkan engkaulah yang lebih tahu tentang al-Qur‘an dan Sunnah daripadaku.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya maksud dari ayat-ayat yang engkau bacakan tadi adalah orang-orang musyrik…’”[40]
2. Kaum Quburiyyun dan tarekat Sufi
Sebagaimana telah kita jelaskan juga bahwa syafa’at itu adalah hak mutlak Allah dan memiliki syarat-syarat tertentu yaitu izin Allah kepada pemberi syafa’at dan ridha-Nya untuk yang diberi syafa’at. Dan Allah tidak ridha kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertauhid. Namun, kaum Quburiyyun menyelisihi hal itu, mereka menetapkan syafa’at untuk wali-wali mereka yang telah meninggal dunia dan meminta kepada mereka di alam dunia sebagaimana kaum musyrikin meminta kepada berhala-berhala mereka. Mereka menyamakan seperti syafa’at para raja di dunia.
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَـٰذِبٌۭ كَفَّارٌۭ ﴿٣
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS az-Zumar [39]: 3)
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿١٨
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu). (QS Yunus [10]: 18)
Kita jawab:
Syafa’at di akhirat tidak sama seperti syafa’at manusia di dunia karena syafa’at di akhirat harus dengan izin dan ridha Allah. Adapun anggapan mereka bahwa para wali tersebut bisa memberikan manfaat atau menolak mudarat maka itu adalah anggapan yang batil secara dalil dan akal, sebab orang yang meninggal dunia tidak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang hidup, justru mereka sangat membutuhkan do’a dari orang yang hidup.
Menarik sekali apa yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Lathif alu Syaikh bahwa ada sebagian tokoh agama yang berdalil bahwa para wali itu memiliki kemampuan di kuburnya sehingga dimintai do’a, dia berdalil dengan ayat:
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَ‌ٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ﴿١٦٩
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS Ali Imran [3]: 169)
Maka seorang awam kaum muslimin ada yang menjawab, “Kalau memang bacaannya adalah ‘yarzuqun’ (mereka memberi rezeki) maka itu benar, tetapi kalau tidak maka ayat ini malah membantah dirimu sendiri.”[41]
Syafa’at Dalam Urusan Dunia
Syafa’at dalam urusan dunia terbagi menjadi dua:
1. Terpuji dan disyari’atkan
yaitu syafa’at dalam perkara-perkara yang mubah sehingga memberikan manfaat kepada orang lain atau menolak madharat dari orang lain tanpa menerjang hak Allah atau hak manusia. Allah berfirman:
مَّن يَشْفَعْ شَفَـٰعَةً حَسَنَةًۭ يَكُن لَّهُۥ نَصِيبٌۭ مِّنْهَا ۖ وَمَن يَشْفَعْ شَفَـٰعَةًۭ سَيِّئَةًۭ يَكُن لَّهُۥ كِفْلٌۭ مِّنْهَا ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ مُّقِيتًۭا ﴿٨٥
Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS an-Nisa‘ [4]: 85)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا
“Berikanlah syafa’at, niscaya kalian akan diberi pahala.” (HR Bukhari 2/18 dan Muslim 4/2026)
2. Tercela dan terlarang
Yaitu syafa’at untuk menggugurkan hukum Allah atau menzalimi orang lain atau membatalkan hak orang lain. Allah berfirman dalam QS Al-Maidah: 2.
عن عَائِشَةَ   زَوْجِ النَّبِيِّ   أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الَّتِيْ سَرَقَتْ فِيْ عَهْدِ النَّبِيِّ   فِيْ غَزْوَةِ الْفَتْحِ فَقَالُوْا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيْهَا رَسُولَ اللَّهِ   فَقَالُوْا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلاَّ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُوْلِ اللَّهِ  . فَأُتِيَ بِهَا رَسُوْلَ اللَّهِ   فَكَلَّمَهُ فِيْهَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُوْلِ اللَّهِ   فَقَالَ: أَتَشْفَعُ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ أُسَامَةُ: اسْتَغْفِرْ لِيْ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. فَلَمَّا كَانَ الْعَشِيُّ قَامَ رَسُوْلُ اللَّهِ   فَاخْتَطَبَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ من قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ. وَإِنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا. ثُمَّ أَمَرَ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ الَّتِيْ سَرَقَتْ فَقُطِعَتْ يَدُهَا. قَالَ يُونُسُ قَالَ بْنُ شِهَابٍ قَالَ عُرْوَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ فَحَسُنَتْ تَوْبَتُهَا بَعْدُ وَتَزَوَّجَتْ وَكَانَتْ تَأتِينِي بَعْدَ ذَلِكَ فَأَرْفَعُ حَاجَتَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya Quraisy menaruh perhatian pada kasus seorang wanita yang mencuri pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saat fathu Makkah lantas mereka berkata, “Siapakah yang berani untuk melobi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Mereka mengatakan, “Siapakah yang berani untuk hal itu kalau bukan Usamah bin Zaid kekasih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Maka Usamah melobi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang kasus wanita tersebut. Mendengar hal itu, maka wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berubah seraya mengatakan, “Apakah engkau memberi syafa’at (perantara pertolongan) dalam penegakan hukum Allah?” Mendengar kemarahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka Usamah Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Mohonkanlah untukku ampunan, wahai Rasulullah.” Sore harinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdiri lalu berkhotbah dan memuji Allah yang berhak dipuji, kemudian beliau berkata, “Adapun setelah itu, sesungguhnya faktor penyebab kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah apabila orang yang bangsawan di antara mereka mencuri maka mereka dibiarkan (tidak dihukum), namun apabila yang mencuri adalah rakyat kecil (miskin) maka mereka langsung dihukum. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya (Allah), seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.” Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallammemerintahkan agar wanita tersebut segera dipotong tangannya. Berkata Yunus: Berkata Ibnu Syihab (Imam Zuhri): Berkata Urwah: Berkata Aisyah Radhiallahu ‘Anha, “Akhirnya setelah itu, wanita tersebut bertaubat dengan bagus dan menikah. Terkadang dia datang kepadaku lalu aku sampaikan hajatnya kepada RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR Bukhari 7/16 dan Muslim 3/1315)
Meminta Syafa’at Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Selainnya
Kami akhiri dengan dengan pembahasan penting seputar hukum meminta syafa’at kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kapan diperbolehkan dan kapan terlarang. Masalah ini diperinci sebagai berikut[42]:
Meminta syafa’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam urusan dunia ketika beliau masih hidup hukumnya boleh, sebagaimana keterangan perinciannya dalam pembahasan sebelumnya di atas.
Meminta syafa’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam urusan akhirat maka diperinci sebagai berikut:
Jika itu saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam hidup dan ada maka boleh, karena hal itu sama halnya dengan meminta do’a kepada orang shalih yang masih hidup. Dahulu, para sahabat Nabi bertawassul kepada Allah dengan do’a dan syafa’at beliau.[43] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya, kata beliau, “Adapun syafa’at dan do’a beliau kepada kaum mukminin maka hal itu bermanfaat di dunia dan agama dengan kesepakatan kaum muslimin.”[44]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ a قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ n أَنْ يَشْفَعَ لِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَقَالَ: أَنَا فَاعِلٌ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَيْنَ أَطْلُبُكَ؟ قَالَ: اطْلُبْنِي أَوَّلَ مَا تَطْلُبُنِي عَلَى الصِّرَاطِ
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Saya meminta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar memberikan syafa’at padaku kelak pada hari Kiamat, maka beliau mengatakan, ‘Saya akan lakukan.’ Saya bertanya, ‘Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di manakah saya mencari engkau?’ Beliau mengatakan, ‘Carilah aku awal kamu mencariku di shirath (jembatan)…’” (HR Tirmidzi 4/621, Ahmad 3/178 dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah: 2433)
Namun, perlu ditandaskan di sini bahwa syafa’at beliau tidak pasti terwujud untuk semua orang yang memintanya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamsaat hidup, tetapi harus memenuhi syarat syafa’at. Oleh karenanya, Allah melarang Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari memohonkan ampun untuk pamannya Abu Thalib dan tidak memberikan izin untuk mendo’akan ibunya.
Jika itu setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mati yaitu di alam barzakh maka tidak boleh bahkan termasuk bid’ah.
Hal itu karena ibadah dibangun di atas dalil bukan hawa nafsu, sedangkan hal itu tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan. Syaikhul Islam mengatakan, “Meminta syafa’at beliau dan do’a serta istighfar beliau setelah kematiannya atau di sisi kuburannya tidaklah disyari’atkan oleh seorang pun ulama dan imam kaum muslimin dan tidak disebutkan oleh seorang pun imam dari imam-imam empat atau para sahabat mereka yang dahulu. Hal itu hanya disebutkan oleh orang-orang belakangan[45] … Telah dimaklumi bersama bahwa seandainya hal itu disyari’atkan tentu para sahabat dan tabi’in lebih tahu dan lebih mendahului serta disebutkan oleh para imam kaum muslimin. Alangkah indahnya ucapan Imam Malik Rahimahullah,[46] “Tidak baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi dahulu baik.”[47]
Jika tidak boleh meminta syafa’at kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah mati, maka demikian juga halnya tidak boleh meminta syafa’at kepada para nabi serta orang-orang shalih yang telah meninggal dunia, atau kepada para malaikat.
Demikianlah beberapa pembahasan tentang masalah syafa’at. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya, marilah kita berdo’a agar Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mendapatkan syafa’at kelak di akhirat. Amin.
Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
======
[1] Sebagian ulama membahasnya secara khusus seperti Imam adz-Dzahabi, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Dr. Nashir al-Judai’, dan Syaikh Dr. Abdullah al-Ghufaili juga memiliki tulisan yang bagus tentang syafa’at, dimuat dalam Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 64, 1422 H. Dan makalah ini banyak mengambil faedah darinya dan kitab as-Syafa’ah ’inda Ahli Sunnah oleh Dr. Nashir al-Judai’. Perhatikanlah!!
[2] Mu’jam Maqayis Lughah 3/201 karya Ibnu Faris
[3] Al-Jami’ li Ahkamil Qur‘an 5/295 oleh al-Qurthubi
[4] Al-Mufradat fi Gharibil Qur‘an hlm. 263
[5] Lihat Lawami’ul Anwar 2/204 oleh as-Saffarini, at-Ta’rifat hlm. 127 oleh al-Jurjani, an-Nihayah fi Gharibil Hadits 5/485 oleh Ibnul Atsir, Syarh Lum’atil I’tiqad hlm. 128 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[6] Al-Qaulul Mufid ’ala Kitab Tauhid 1/330 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
[7] Lihat as-Sunnah Ibnu Abi Ashim 2/399, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/314, Lawami’ul Anwar al- Bahiyyah oleh as-Saffarini 2/208.
[8] Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Istidzkar 8/136.
[9] Ma’arijul Qabul 2/256
[10] Lihat Risalah ila Ahli Tsaghar hlm. 90 oleh Abul Hasan al-Asy’ari, Syarh Muslim oleh an-Nawawi 3/35, ad-Dinul Khalish 2/22 oleh Shiddiq Hasan Khan.
[11] Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari’ah hlm. 337, al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad 6/1110 dan dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/426.
[12] Lihat al-Ala‘i al-Bahiyyah fi Syarhi Aqidah al-Wasithiyyah 1/275 oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh.
[13] Tahdzib Sunan Abu Dawud 13/56—Aunul Ma’bud
[14] Ighatsatul Lahfan 1/220
[15] Majmu’ Fatawa 1/313
[16] Lihat Shahihul Bukhari 5/225
[17] Jami’ul Bayan 15/143–144
[18] Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/286 oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi dan Syarh Lum’atil I’tiqad hlm. 129 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
[19] Sebagaimana ditegaskan oleh para ulama ahli hadits, seperti Imam Ibnu Abi Ashim, Ibnu Abdil Barr, al-Qadhi Iyadh, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dll. (Lihat nukilan ucapan mereka dalam buku saya Membela Hadits Nabi hlm. 330–332, cet. Media Tarbiyah.
[20] Shahih. Lihat takhrijnya secara lengkap dan panjang dalam buku saya Membela Hadits Nabi hlm. 326–329.
[21] Dua jenis ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim 2/204–206. Namun, hadits-hadits yang beliau bawakan tidak shahih dari Nabi n\. Dua syafa’at ini ditetapkan oleh an-Nawawi dalam Syarh Muslim 3/35, Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa 3/147, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/428, dan as-Saffarini dalam Lawami’ul Anwar 2/211. Namun, Ibnul Qayyim tawaqquf (diam dan tidak menetapkan) dalam Tahdzibus Sunan 7/134 dan ini dikuatkan oleh Dr. Nashir al-Judai’ dalam asy-Syafa’ah ’inda Ahli Sunnah hlm. 59.
[22] Lawami’ul Anwar 2/209 oleh as-Saffarini
[23] Lathaiful Ma’arif hlm. 182
[24] Majmu’ Fatawa 1/414
[25] HR Muslim: 384
[26] Ta’liq Fadhlush Shalah ’ala Nabi hlm. 49–50
[27] Lihat tentang hadits-hadits seputar masalah ini serta penjelasan lemahnya secara bagus dalam ash-Sharimul Munki Ibnu Abdil Hadi, Shiyanatul Insan ’an Waswasah Syaikh Dahlan hlm. 49–70 karya Muhammad Basyir al-Hindi, Irwaul Ghalil no. 1127–1128 karya al-Albani, Tanbihu Zairil Madinah hlm. 16–30 karya Dr. Shalih as-Sadlan dan al-Ahaditsul Waridah fi Fadhailul Madinah hlm. 483–595 karya Dr. Shalih ar-Rifa’i, Audhahul Isyarah hlm. 131–172 karya Ahmad an-Najmi.
[28] Syifaush Shudur fi Ziyaratil Masyahid wal Qubur karya Mar’i bin Yusuf al-Karmi hlm. 168
[29] Rihlatush Shiddiq ila Baitil ’Atiq karya Shiddiq Hasan Khan hlm. 146
[30] Qa’idah Jalilah fi Tawassul wal Wasilah hlm. 57
[31] Syarh Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab hlm. 81, Syarh al-Manzhumah al-Haiyah hlm. 175, Syarh Aqidah al-Washitiyyah hlm. 206, semuanya karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[32] Lihat pula Risalah Ahli Saghr hlm. 286–288 oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
[33] Lihat pula Maqalat Islamiyyin hlm. 86, 274 oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
[34] Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hlm. 11 oleh Ibnu Taimiyyah
[35] Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang cukup populer, fanatik ekstrem terhadap madzhab Mu’tazilah, menggunakan kemahiran bahasanya untuk membela madzhab yang batil, ditambah lagi miskin sekali dalam bidang hadits. Kitab tafsirnya al-Kasysyaf berisi penuh dengan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dan serangan terhadap Ahli Sunnah. (Lihat al-Aqwal asy-Syadhah fi Tafsir hlm. 69–70 oleh Syaikhuna Dr. Abdurrahman bin Shalih ad-Dahsy.)
[36] Al-Kasysyaf 1/489
[37] Ibid.
[38] Asy-Syari’ah 3/1192, 1205
[39] Kisah lainnya yang lebih shahih sanadnya adalah Yazid al-Faqir. Lihat Shahih Muslim: 191, Musnad Abu Awanah 1/180, dll.
[40] Shahih li ghairihi. HR Ahmad 3/330, Lalikai dalam Syarh Ushul: 2053, Bukhari dalam Adab Mufrad: 818 secara ringkas. Lihat Shahih Adab Mufrad hlm. 305 dan ash-Shahihah: 3055, Al-Albani.
[41] Tuhfah Thalib al-Jalis hlm. 56
[42] Asy-Syafa’ah ’inda Ahli Sunnah hlm. 99–102 oleh Dr. Nashir al-Juda’i
[43] Ar-Raddu ’ala al-Bakri oleh Ibnu Taimiyyah hlm. 388
[44] Majmu’ Fatawa 1/148
[45] Termasuk kitab yang menghimpun ucapan-ucapan mereka adalah kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani, yang telah dibantah oleh Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi dalam kitabnya Ghayatul Amani fir Raddi ’ala Nabhani. (Lihat Kutub Hadzdzara Minha Ulama 1/269 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman.)
[46] Asy-Syifa‘ 2/88 oleh al-Qadhi Iyadh
[47] Majmu’ Fatawa 1/241

Remaja Feed

Nasehat feed

Sentu Hatimu Feed

AL QURAN Feed

JALAN KEBENARAN Feed

 

© Copyright BERSATU DALAM ISLAM 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.