Ustadz selebriti dibandingkan ulama di masa silam amat berbeda jauh. Yang satu lebih mengutamakan ilmu. Yang satunya lagi menarik simpatik pendengar karena bisa membuat lelucon, guyon, mengundang tangis, namun sayang tidak mengedepankan ilmu. Popularitaslah yang diincar dan tarif tinggi yang jadi patokan untuk mengisi barang satu atau dua jam. Para ustadz selebriti tidak mengetahui yang diomongkan apakah hadits yang shahih atau dusta, atau apakah yang disampaikan pada audience adalah kisah-kisah yang valid atau tidak ada asal-usulnya. Wallahul musta'an.
Kami ceritakan perkataan Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Talbisul Iblis.
Dahulu para pemberi wejangan adalah para ulama dan fuqoha. Lihatlah bagaimana seorang ulama yang bernama 'Ubaid bin 'Umair menghadiri majelisnya 'Abdullah bin 'Umar -seorang sahabat Nabi yang mulia-. Sedangkan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menghadiri majelis yang biasa membawakan kisah-kisah. Kualitas bermajelis ilmu kemudian semakin merosot. Hingga orang-orang yang tidak berilmu yang angkat bicara setelah itu. Akhirnya, bermajelis dengan para ulama dijauhi. Majelis orang yang tidak berilmu inilah yang hadir beda, bahkan sampai menarik hati orang awam dan kaum wanita. Padahal majelis-majelis ini tidak diisi dengan ilmu. Hanya kisah-kisah yang memikat orang-orang bodoh yang disampaikan. Namun ujung-ujungnya banyak bid'ah yang tersebar di majelis semacam ini.
Pembawa kisah-kisah tersebut hanya menyampaikan hadits-hadits palsu (hadits maudhu') berisi motivasi atau nasehat yang membuat merinding (takut). Iblis lantas menghias-hiasi para pendengar seakan-akan mereka diajak kepada kebaikan dan dijauhkan dari kejelekan.
Menyampaikan hadits-hadits palsu seperti itu dalam ceramah termasuk bentuk melampaui batas dalm syari'at (yang keliru). Seakan-akan syariat itu tidak sempurna, butuh penyempurnaan (dengan hadits-hadits yang bukan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, -pen). Mereka lupa akan sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka silakan ia ambil tempat duduknya di neraka." Hadits mutawatir. (Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 115).
Ibnul Jauzi juga mengatakan,
Para narrator yang tercela adalah yang umumnya hanya membawa kisah tanpa menyebutkan faedah ilmu di dalamnya. Bahkan narasi (cerita) yang disampaikan kadang keliru bahkan suatu yang hal yang mustahil dibayangkan.
Adapun jika kisah yang disebutkan benar, wajib menjadikannya sebagai wejangan. Inilah yang terpuji.
Ahmad bin Hambal pernah berkata,
ما أحوج الناس إلى قاص صدوق
"Manusia itu sangat butuh sekali pada kisah-kisah yang benar (kredibel atau jujur)." (Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 114-115).
Kenyataan ustadz selebriti yang ada saat ini yang bermunculan di televisi-televisi hampir seperti yang diceritakan oleh Ibnul Jauzi di atas. Banyak yang hanya pintar orator. Banyak yang terampil membuat orang mudah menangis di majelis. Banyak pula yang hanya jadi narrator dengan membawa hadits-hadits dho'if atau palsu. Sedikit di antara mereka yang berilmu dengan menukil ayat Al Qur'an, hadits shahih atau bahkan perkataan ulama salaf.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
إنما الفقيه من يخشى الله
"Orang yang faqih (berilmu) adalah yang takut pada Allah." Dinukil pula dari Talbisul Iblis karya Ibnul Jauzi. Cukup nasehat ini menjadi isyarat pada kita manakah orang yang berilmu dan manakah orang yang cuma cari kemasyhuran dan ketenaran. Bandikan dengan da'i ilallah (da'i yang mengajak manusia pada jalan Allah dan kebenaran)!
Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk pada kebenaran.
Referensi:
Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis karya Ibnul Jauzi, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1429 H.
---
Akhukum fillah,
Kami ceritakan perkataan Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Talbisul Iblis.
Dahulu para pemberi wejangan adalah para ulama dan fuqoha. Lihatlah bagaimana seorang ulama yang bernama 'Ubaid bin 'Umair menghadiri majelisnya 'Abdullah bin 'Umar -seorang sahabat Nabi yang mulia-. Sedangkan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menghadiri majelis yang biasa membawakan kisah-kisah. Kualitas bermajelis ilmu kemudian semakin merosot. Hingga orang-orang yang tidak berilmu yang angkat bicara setelah itu. Akhirnya, bermajelis dengan para ulama dijauhi. Majelis orang yang tidak berilmu inilah yang hadir beda, bahkan sampai menarik hati orang awam dan kaum wanita. Padahal majelis-majelis ini tidak diisi dengan ilmu. Hanya kisah-kisah yang memikat orang-orang bodoh yang disampaikan. Namun ujung-ujungnya banyak bid'ah yang tersebar di majelis semacam ini.
Pembawa kisah-kisah tersebut hanya menyampaikan hadits-hadits palsu (hadits maudhu') berisi motivasi atau nasehat yang membuat merinding (takut). Iblis lantas menghias-hiasi para pendengar seakan-akan mereka diajak kepada kebaikan dan dijauhkan dari kejelekan.
Menyampaikan hadits-hadits palsu seperti itu dalam ceramah termasuk bentuk melampaui batas dalm syari'at (yang keliru). Seakan-akan syariat itu tidak sempurna, butuh penyempurnaan (dengan hadits-hadits yang bukan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, -pen). Mereka lupa akan sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka silakan ia ambil tempat duduknya di neraka." Hadits mutawatir. (Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 115).
Ibnul Jauzi juga mengatakan,
Para narrator yang tercela adalah yang umumnya hanya membawa kisah tanpa menyebutkan faedah ilmu di dalamnya. Bahkan narasi (cerita) yang disampaikan kadang keliru bahkan suatu yang hal yang mustahil dibayangkan.
Adapun jika kisah yang disebutkan benar, wajib menjadikannya sebagai wejangan. Inilah yang terpuji.
Ahmad bin Hambal pernah berkata,
ما أحوج الناس إلى قاص صدوق
"Manusia itu sangat butuh sekali pada kisah-kisah yang benar (kredibel atau jujur)." (Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 114-115).
Kenyataan ustadz selebriti yang ada saat ini yang bermunculan di televisi-televisi hampir seperti yang diceritakan oleh Ibnul Jauzi di atas. Banyak yang hanya pintar orator. Banyak yang terampil membuat orang mudah menangis di majelis. Banyak pula yang hanya jadi narrator dengan membawa hadits-hadits dho'if atau palsu. Sedikit di antara mereka yang berilmu dengan menukil ayat Al Qur'an, hadits shahih atau bahkan perkataan ulama salaf.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
إنما الفقيه من يخشى الله
"Orang yang faqih (berilmu) adalah yang takut pada Allah." Dinukil pula dari Talbisul Iblis karya Ibnul Jauzi. Cukup nasehat ini menjadi isyarat pada kita manakah orang yang berilmu dan manakah orang yang cuma cari kemasyhuran dan ketenaran. Bandikan dengan da'i ilallah (da'i yang mengajak manusia pada jalan Allah dan kebenaran)!
Hanya Allah yang memberi taufik dan petunjuk pada kebenaran.
Referensi:
Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis karya Ibnul Jauzi, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1429 H.
---
Akhukum fillah,
0 comments:
Post a Comment