News Update :

bersatulah wahai ummat..!

Wednesday, December 5, 2012



PERSATUAN UMMAT ISLAM

Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” [Ali ‘Imran: 103]

Allah Jalla Jalaluhu berfirman.

“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Ali ‘Imran: 105]

“Artinya : Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Ruum: 31-32]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : “Berjama’ah adalah rahmat sedangkan berpecah-belah adalah adzab.” [1]

Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Bukan persatuan yang semu dan sesat. Ahlus Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah belah persatuan kaum Muslimin. Persatuan yang dikehendaki ialah persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka. Bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.[2]

AHLUS SUNNAH MENGAJAK KAUM MUSIMIN KEPADA PERSATUAN DI ATAS SUNNAH

Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla, kebaikan dan kekuatan. Dan jika mereka berselisih, yang terjadi adalah kelemahan, kekalahan dan kehancuran.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al-Anfaal: 46]

Namun wajib diketahui bahwa persatuan itu dibangun di atas ittiba’ (ketaatan) kepada As-Sunnah bukan di atas bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka meskipun golongan itu berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan adalah kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-Shirath al-Mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush Shalih.[3]

Ahlus Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus Sunnah juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah merupakan penyebab timbulnya perpecahaan dan fitnah (pertikaian). Bai’at hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif) atau kepada seorang Muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.

Ahlus Sunnah berpendapat tentang hadits

“...Barangsiapa mati sementara ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah.” [4]

Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.”[5] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas. Beliau (Imam Ahmad) menjawab: “Yang dimaksud dengan Imam adalah yang kaum Muslimin seluruhnya berkumpul untuk membai’atnya, itu adalah Imam dan demikianlah makna hadits ini.” Tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[6]

Al-Katsiri dalam kitabnya, Faidhul Baari berkata: “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dianggap bai’at yang sah adalah yang dibai’at oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan Imam sampai dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi.” [7] Jadi ancaman tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada Imam yang berkumpul padanya seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) adalah bai’at yang bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyalahu ‘anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“... Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin.” Kemudian Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.” [8]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam ASy-Safi'i, Cetakan Ketiga. PO Box 7803/JACC 13340
__________
Foote Note
[1]. HR. Ahmad (IV/278) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 93), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 667).
[2]. Lafazh hizb ada beberapa makna ditinjau dari aspek bahasa, al-Fairuz Abadi dalam Bashaairu Dzawit Tamyiizi (II/457) mengatakan al-hizb adalah kelompok (golongan). Al-Ahzaab adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu memerangi para Nabi. “Sedangkan dalam al-Qur'an terdapat beberapa sudut pandang:

1. Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (QS. Ar-Ruum: 32)
2. Bermakna tentara syaithan. (QS. Mujaadilah: 19)
3. Bermakna tentara Allah. (QS. Mujaadilah: 22)
4. Mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (QS. Al-Maa’idah: 56)
5. Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung.”

Berkata Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfury, “Al-Hizb secara bahasa adalah: ‘Golongan/kumpulan dari manusia, berkumpulnya manusia karena adanya sifat yang bersekutu atau kemashlahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan aqidah dan iman atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemak-siyatan atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air atau (ikatan) nasab/keturunan, pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan ikatan-ikatan tersebut, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia ber-kumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.”

Bukanlah sesuatu yang tersembunyi bagi seseorang yang berakal bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya intern dan teori-teori yang menjadi patokan sebagai undang-undang bagi kelompok hizb. Meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang.

Undang-undang tersebut kedudukannya sebagai asas yang menjadi dasar berpijaknya sistem pengorganisasian hizb dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut.

Barangsiapa yang percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh maka pada akhirnya dia akan mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut. Sehingga ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju/menolak, maka ia tidak termasuk anggota hizb. Maka, undang-undang itu asasnya wala’ (kesetiaan/ loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.

Atas pertimbangan yang demikian maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb, yaitu hizb Allah dan hizb syaithan, yang menang dan yang kalah, yang Muslim dan yang kafir.

Orang yang memasukkan hizb Allah ke dalam hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) yang lain maka dia telah merobek-robek hizb Allah, memecah belah kalimat Allah.

Seorang muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiy-yah yang sempit dan terkutuk yang telah melemahkan hizb Allah, dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok/golongan/jama’ah supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah. (Lihat ad-Da’wah ilallaah bainat Tajammu’ al-Hizbi wat Ta’aawun asy-Syar’i, hal. 53-55 oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari.)
[3]. Lihat QS. An-Nisaa’: 59.
[4]. HR. Muslim (no. 1851) dan al-Baihaqy (VIII/156) dari Sahabat Ibnu ‘Umar.
[5]. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah no. 984.
[6]. As-Siraajul Wahhaaj fii Bayaanil Minhaaj (no. 181), oleh Abul Hasan Mushthafa bin Isma’il as-Sulaimani al-Mishri, cet. I/Maktabah al-Furqan, th. 1420 H.
[7]. Fa-idhul Baari (IV/59), dikutip dari Nashiihah Dzahabiyyah ilal Jamaa’aatil Islaamiyyah (hal. 10) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar ar-Raayah, th. 1410 H.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 7084) dalam Kitaabul Fitan bab Kaifal Amr idzaa Lam Takun Jamaa’ah (bab: Bagaimana Urusan Kaum Muslimin Apabila Tidak Ada Jama’ah), Muslim (no. 1847) dalam Kitaabul Imaarah bab Wujuub Mulaazamah Jamaa’atil Muslimiin ‘inda Zhuhuuril Fitan wa fi Kulli Haal wa Tahriimil Khuruuj ‘alath Thaa’ati wa Mufaaraqatil Jamaa’ah (bab: Keharusan Mengikuti Jama’ah Kaum Muslimin Ketika Terjadi Fitnah dalam Segala Kondisi, dan Diharamkannya Membangkang (Tidak Taat kepada Ulil Amri) dan Meninggalkan Jama’ah).


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dalam risalah beliau, Al Ushul As Sitah, pada Al- Ashlu Ats Tsani mengatakan,” Allah memerintahkan supaya (kaum Muslimin) bersatu dalam agama, dan melarang berpecah-belah di dalamnya. Karena itu, Allah menjelaskan perintah-Nya ini dengan penjelasan memuaskan yang dapat difahami orang awam. Allah melarang kita, jangan sampai menjadi golongan orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih dari umat sebelum kita, sehingga mereka menjadi binasa. Allah menyebutkan, bahwa Dia memerintahkan kaum Muslimin supaya bersepakat dalam agama, dan melarang mereka berpecah-belah pemahamannya dalam masalah agama. Perintah Allah ini menjadi semakin jelas dengan keterangan menakjubkan yang terdapat dalam Sunnah.

Akan tetapi – sayangnya – kemudian persoalan perpecahan faham dalam masalah pokok-pokok agama serta masalah cabang-cabangnya, justeru menjadi ilmu dan menjadi pemahaman yang baik tentang agama. Sebaliknya, orang yang menyuarakan persatuan (persepsi) dalam agama, justeru dianggap sebagai orang zindik atau gila”[1]

Selanjutnya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan penjelasan dalam syarahnya, tentang dalil-dalil
persatuan : baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, amalan sahabat maupun amalan para Salafus Shalih. Ringkasan dari beberapa dalil sebagai berikut:

Dalil Al-Qur’an Al Karim, diantaranya ialah:
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah kamu mati kecuali sebagai orang-orang muslim (berserah diri). Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah semuanya, dan janganlah
berpecah-belah Dan ingatlah nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu tatkala dulunya saling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kamu sehingga kamu menjadi bersaudara karena nikmat Allah tersebut. Dan kamu dahulu berada di tepi jurang api neraka,lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” [Ali-Imran:102-103]

“Artinya : Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah datang kepada mereka penjelasan-penjelasan yang benar. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih”. [Ali-Imran:105]

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya, sedangkan mereka bergolongan-golongan, maka tidak ada tanggung jawabmu sedikitpun terhadap mereka. Sesungguhnya perkara mereka hanyalah menjadi urusan Allah, kemudian Allah akan memberitahu kepada mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan”[Al-An’am:159]

Dalil Sunnah, diantaranya, sabda Rasulullah :
“Artinya : Janganlah kalian saling mendengki, saling memuslihati dalam jual beli, saling
membenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian menarik pembeli yang sedang dalam proses pembelian dengan pedagang lain. Jadilah hendaklah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak merendahkannya dan tidak meremehkannya. Takwa adalah disini -beliau- memberikan isyarat kearah dada tiga kali. “cukuplah seseorang dikatakan jahat, bila ia menghina saudaranya yang muslim. Tiap-tiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.” [HR.Muslim, Kitab Al Birri Wash Shilah, Bab Tahri Zulmi Al Muslim Wa Khazlihi Wa Ihtiqarihi Syarh Nawawi XVI/336-337, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha]

Adapun pengamalan para sahabat, diantaranya bahwa betul-betul terjadi perselisihan pendapat pada zaman sahabat dalam masalah ijtihadiyah. Walaupun demikian tidak terjadi perpecahan, permusuhan dan saling membenci satu dengan lainnya karena ijtihadiyah ini. Misalnya kasus yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tentang penyerangan ke Bani Quraidzah karena mereka mengingkari perjanjian terhadap Rasulullah pada saat terjadi perang Ahzab. Ketika itu, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk tidak shalat Ashar, kecuali setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah. Ternyata ditengah perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka sebagian sahabat tetap tidak mau melaksanakan shalat Ashar sampai mereka tiba di Bani Quraidzah. Mereka tetap berpegang kepada perintah Rasulullah. Tetapi sebagian sahabat yang lain,
melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Sebab mereka memahami perintah
Rasulullah tersebut sebagai perintah supaya bersegera menuju Bani Quraidzah,
tidak berarti menunda shalat Ashar. Dan ternyata, kedua pendapat itu dibenarkan oleh Rasulullah. Merekapun tidak saling mencela satu sama lainnya. Sebab persoalannya adalah persoalan ijtihadiyah. (dan ijtihad tersebut dilakukan oleh para tokoh ulama umat, yaitu para sahabat. Masing-masing memahami kedudukan dan ke-ilmuan pihak lain, pen).

Sedangkan pengamalan para Salafush Shalih, ialah bahwa diantara prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah. Yakni, bila masalah khilafiyah itu lahir karena ijtihad yang diperbolehkan dalam agama, maka satu sama lain saling menghargai perselisihan tersebut. Tidak membuatnya saling mendengki, saling memusuhi atau saling membenci. Bahkan mereka menyakini persaudaraan diantara mereka.

Adapun masalah yang tidak boleh diperselisihkan, yaitu segala penyimpangan yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in. Misalnya dalam masalah aqidah. Banyak orang yang tersesat (karena berbeda pemahaman aqidahnya dengan pemahaman para sahabat). Perselisihan dalam masalah aqidah ini -yang sebenarnya tidak diperbolehkan- hanyalah terjadi secara tidak terkendali, setelah perginya generasi-generasi umat terbaik.

Ketika tiga generasi utama umat ini masih ada, penyimpangan masalah aqidah masih dapat dikendalikan. Namun sesudahnya, tersebar luaslah penyimpangan ini. Sehingga terjadilah perselisihan dan perpecahan umat secara luas.

Dengan demikian, barangsiapa yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in,
maka ia menanggung dosanya. Dan perselisihan dalam hal demikian tidak bisa
ditoleransi.

Demikianlah keterangan secara ringkas Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]

Jadi sesungguhnya
persatuan merupakan salah satu hal yang prinsip yang diajarkan Islam. Tetapi persatuan kaum muslimin hanya dapat terwujud bila secara lahir-batin, persepsi dan pengalaman mereka sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat ijtihadiyah saja kaum muslimin diberikan keleluasaan untuk tidak sama pendapatnya. Karena kesamaan dalam hal ini tidak mungkin. Dan ketidak-samaan itu sudah terjadi semenjak zaman sahabat. Ketidak-samaan ijtihadiyah tersebut tidak boleh menjadikan umat berpecah-belah. Disamping itu, ijtihad yang dimaksud adalah ijtihadnya para ulama. Yakni, orang-orang yang memiliki kewenangan untuk berijtihad. Bukan ijtihadnya sembarang orang. Dan jika terjadi sembarang orang berijtihad, maka rusaklah agama; kacaulah umat. Na’udzubillah min dzalik.

Intinya,
persatuan dan persaudaraan diantara kaum muslimin harus dibangun. Namun harus berdasarkan syarat. Yaitu ikhlas karena Allah, dan dalam koridor ketaatan kepada Allah. Yakni, persaudaraan yang bersih dari noda-noda dan motif-motif duniawi beserta kaitan-kaitannya. Yang menjadi pendorong persaudaraan ini hanyalah keimanan kepada Allah.[3] bukan kesamaan kelompok hizbiyah, kesamaan kepentingan, atau kesamaan-kesamaan lain yang bersifat duniawi, seperti: politik, kedudukan, uang, dll.

Demikianlah uraian yang sangat ringkas. Mudah-mudahan dapat menjadi wacana, bahwa kaum muslimin hanya bisa bersatu, manakala kembali secara benar, dengan pemahaman yang benar kepada agamanya. Meninggalkan cara-cara beragama berdasarkan pendapat-pendapat atau hawa nafsu pribadi atau golongan. Semua itu dengan izin dan taufiq Allah. Wallahu waliyyu at taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Foote Note
[1]. Syarah Al Ushul As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
[2]. Penjelasan secara lengkap, silahkan lihat Syarah Al Ushul As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
[3]. Lihat Minhaj Al muslim, Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Bab Tsani, Fashl Sabi’,
hal. 101.
ANTARA TA’AWUN SYAR’I DAN HIZBI [1]


Oleh
Markaz al-Imam al-Albani



Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman.

“Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [Al-Ma’idah : 2]

Pertama, Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan merupakan kalimat yang mencakup seluruh kebajikan, yang akan membawa kebaikan bagi masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam membina perabadan umat.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat diatas [Al-Ma’idah : 2]

“Artinya : Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Allah melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”

Termasuk dalam pengertian ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam bersabda : “Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “Bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.”

An-Nushhu (nasehat) ditinjau menurut bahasa, artinya adalah mengikhlaskan diri terhadap sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat. Hal ini merupakan kewajiban ulama dan para penuntut ilmu yang pertama kali sebelum lainnya. Karena mereka (para ulama) adalah pewaris para nabi, khalifah (pengganti) Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Allah, bersabar atas segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” [Fushshilat : 33]

Kedua, Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi dari wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” [At-Taubah : 71]

Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.

Ketiga, Ta’awun diantara kaum muslimin merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan berpegang teguhnya mereka (pada agama Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :

“Artinya : Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian lainnya.”

Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan musuh-musuhnya menguasai mereka, melainkan dikarenakan berpecah belah dan berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Anfal : 46]

Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh fitrah yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair yang bijaksana :

Tombak-tombak enggan menjadi hancur apabila mereka bergabung
Namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu

Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan melainkan di atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya persatuan umat
.
Keempat, Ta’awun dan ittihad (persatuan).[2]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
“Artinya : Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” [Al-Mu’minun : 52]

Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” [Al-Anbiya’ : 92]

Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang parah, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar apa yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

“Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.” Para sahabat bertanya : “apa jumlah kita pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih, dan Allah akan mengangkat rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Allah akan menancapkan al-Wahn ke dalam hati-hati kalian.” Para sahabat bertanya : “apakah al-Wahn itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “cinta dunia dan takut mati.”[Hadits Riwayat Bukhari Muslim]

Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan umat ini yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Allah timpakan atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini). Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa salam :

“Jika kalian telah sibuk dengan jual beli inah (sistem jual beli yang terdapat unsur riba, pent.), kalian terbuai dengan peternakan dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan jihad, maka akan Allah timpakan di atas kalian kehinaan yang tidak akan terangkat sampai kalian kembali ke agama kalian.” [Hadits Shahih Riwayat Abu Daud] [3]

Seorang muslim, haruslah memiliki solidaritas dengan saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:

“Perumpamaan kaum mukminin di dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh lainnya dengan terjaga dan demam.” [Muttafaq ‘alaihi]

Kelima, Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran merupakan sebab keselamatan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar, merupakan sebab diperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [Al-Ashr]

Kesempurnaan dan totalitas perkara ini adalah dengan saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas, kelembutan dan perhatian…
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam tidak pernah berselisih kecuali mereka membaca surat Al-Ashr[4]

Keenam, Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.

Ketujuh, Allah sungguh telah mencela tafarruq (perpecahan), karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja sama), pertautan (hati), kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan, kesedihan dan kebencian. Alloh Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Rum : 31-32]

Perpecahan merupakan syiar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syiarnya kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.

Kedelapan, Kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (fanatisme) yang membinasakan, berupa keburukan-keburukan dan bencana. Mereka memasukan rasa permusuhan dan kebencian di antara manusia, dikarenakan mereka berinteraksi dengan selain mereka dengan asas hizbi (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah hizbiyah (persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan partai mereka [5]. Adapun muslim non partisan, sekalipun ia teman lama dan sahabat akrabnya, prinsip mereka terhadapnya adalah “ini termasuk kelompoknya dan ini termasuk musuhnya”.

Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka lainnya adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan gerakannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan membuat keragu-raguan terhadap para ulama…

Inilah intisari ringkas keadaan kelompok-kelompok dan partai-partai yang mengikat dengan belenggu hizbiyah, yang menyembunyikan ‘desahan nafas’nya dengan ikatan rahasia. Apabila seorang muslim dari luar barisan mereka maju, maka mereka akan menuduhnya sebagai : mutsabbithun (pengendor semangat), musyawwisyun (penyulut kebingungan) dan murjifun (penggoncang barisan) yang menghendaki porak-porandanya barisan Islam dan terbukanya rahasia kepada musuh-musuh Islam.

Apabila datang seorang pemberi nasehat yang jujur dari barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang menyeleweng dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan teman seperjuangan.

Imam Robbani, Syaikhul Islam kedua, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah Rahimahulahu berkata di dalam Madarijus Salikin (III/200) :

“Apabila seorang mukmin yang telah dianugrahi oleh Allah berupa bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauh dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela dan dihina serta ditahdzir mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar padanya, Maka dirinya menjadi orang yang :

Asing didalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka
Asing didalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah, dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan
Asing didalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing didalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing didalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
Asing didalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing didalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka

Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.

Karena dirinya adalah :
Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah
Penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah

Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”[6]


FATWA ULAMA TENTANG HARAMNYA HIZBIYAH [BERPARTAI-PARTAI]

Pertanyaan : Apa hukum berbilangnya jama’ah (hizbiyah) dan kelompok didalam Islam, dan apa hukum berafiliasi padanya?

[1]. Lajnah Da`imah lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan : Syaikh Abdur Razaq Afifi Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud menjawab tentang haramnya hal ini di dalam fatwa no 1674 (tanggal 7/10/1397) sebagai berikut :

“Tidak boleh memecah belah agama kaum muslimin dengan bergolong-golongan dan berpartai-partai… karena sesungguhnya perpecahan ini termasuk yang dilarang oleh Allah, dan Allah mencela pencetus dan pengikut-pengikutnya, serta Allah janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali Imran : 103]

Dan firman-Nya :

“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [Ali Imran 105]

Serta firman-Nya :

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” [Al-An’am : 159]

Adapun para penguasa kaum muslimin, jika mereka yang mengurus dan mengelola aktivitas agama dan duniawi di tengah-tengah mereka. Maka yang demikian ini disyariatkan.”

[2]. Di dalam Majmu’ Fatawa Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu (Juz V/202-204), beliau menjawab dengan terperinci pertanyaan ini. Beliau Rahimahullahu berkata :

“Sesungguhnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada kita jalan yang satu, yang wajib bagi kaum muslimin menempuh jalan tersebut, yaitu jalan Allah yang lurus dan manhaj agama yang benar. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.” [Al-An’am : 153]

Maka wajib bagi seluruh ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikat ini, berdiskusi dengan tiap jama’ah dan menasehati seluruhnya supaya mereka mau meniti jalan yang telah digariskan Allah kepada hamba-Nya dan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyeru padanya. Barang siapa menyeleweng dari jalan ini dan terus menerus menentangnya, maka wajib bagi orang yang mengetahui hakikatnya untuk menyebarkan kesalahannya, mentahdzir umat darinya, sampai manusia menjauh dari manhajnya dan sampai tidak turut masuk bersama mereka orang-orang yang tidak mengetahui hakikat keadaan mereka sehingga mereka tersesat dan berpaling dari jalan yang lurus. Jalan yang mana Allah memerintahkan kita untuk mengikutinya. Tidak ragu lagi, bahwasanya kebanyakan kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah di negeri-negeri Islam termasuk perkara yang disenangi oleh syaithan, ini yang pertama, dan yang kedua, perkara ini disenangi oleh musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.”

[3]. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa di dalam fatwa beliau (hal. 196 – cetakan Mesir), beliau Rahimahullahu berkata : “Tidak tersembunyi bagi setiap muslim yang mengetahui Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan yang dipegang oleh Salafuna ash-Sholih Radhiyallahu ‘anhum bahwasanya tahazzub (berpartai-partai) dan membentuk jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj dan cara-caranya, bukanlah bagian dari Islam sedikitpun. Bahkan hal ini termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita Azza wa Jalla di dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an al-Karim.”

[4]. Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa yang tersebar di dalam kitab Ash-Shohwah Islamiyyah Dlowabith wa Taujihaat (hal. 154), beliau Rahimahullahu berkata : “Tidak ada di dalam Kitabullah dan as-Sunnah yang memperbolehkan berbilangnya jama’ah dan kelompok. Sesungguhnya yang terdapat di dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah yang celaan terhadap hal ini. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” [Al-Mu’minun : 53]

Tidak ragu lagi, bahwasanya kelompok-kelompok ini meniadakan apa yang diperintahkan Alloh, bahkan apa yang dianjurkan oleh-Nya di dalam firman-Nya Ta’ala :

“Artinya : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku “ [Al-Anbiya’ : 92]

[5]. Syaikh DR. Sholih al-Fauzan (anggota Lembaga Ulama Senior) memiliki fatwa yang serupa, yaitu ucapan beliau : “Tafarruq (bergolong-golongan) bukanlah bagian dari agama, karena agama memerintahkan kita untuk bersatu, dan hendaknya kita menjadi jama’ah yang satu dan umat yang satu di atas aqidah tauhid dan penauladanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali Imran : 103]

[Sebagaimana termuat di dalam kitab Muhadzdzab Hukmil Intima’]

Ya Allah anugerahkanlah kepada jiwa kami ketakwaan dan sucikan jiwa kami karena Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikannya. Engkau adalah Walinya dan Maulanya

Demikian akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Allah Rabb (Pemelihara) alam semesta.

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 24 Th.V Dzulqo’dah 1427H, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya. Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
_________
Foote Note
[1]. Dialihbahasakan oleh Abu Salma Al-Atsari dari Mansyuraat (selebaran) Markaz al-Imam al-Albani no 3, Robi’ul Awwal, 1422 H, yang berjudul Nubdzatu ‘Ilmiyyah fit Ta’aawun asy-Syar’iy wat Tahdzir minal Hizbiyyah,
[2]. Yang dimaksud persatuan dalam Islam adalah bersatu dalam menegakkan aqidah yang benar dan menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara amar ma’ruf dan nahi mungkar bukan mendiamkan kesyirikan, bid’ah ataupun kebaikan. (ed).
[3]. Ini bukan dalil bagi orang-orang yang memulai dan mengutamakan dakwah dengan berjihad ala mereka atau dengan melakukan kudeta, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup sabdanya dengan ungkapan : “Sampai kalian kembali ke agama kalian”. Jadi, obatnya adalah menghidupkan sunnah dan ajaran agama Islam (,-pent)
[4]. “Dua orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertemu tidaklah akan berpisah hingga salah seorang dari keduanya membaca surat Al-Ashr …” [Hadits Riwayat Thabrani dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2648
[5]. Sehingga kita saksikan partai-partai yang mengaku berjuang untuk Islam mereka saling berebut anggota partai lain yang berhaluan Islam. Demikian juga orang-orang yang terlalu fanatic kepada organisasi dakwah tertentu, sehingga terkadang mereka tidak memperdulikan suatu kegiatan dakwah kecuali harus atas nama organisasinya atau bahkan mereka jadikan partai/organisasi tersebut sebagai standard untuk menentukan siapa lawan dan siapa kawan (,-ed)
[6]. Alangkah indahnya ucapan beliau rahimahullah ini ! Sungguh ini adalah kenyataan dakwah salafiyah di tengah-tengah ahlu bid’ah semisal harakiyin (aktivis harakah), (,-ed)

APAKAH MUNGKIN PERSATUAN ITU (AKAN TERWUJUD) BERSAMAAN DENGAN BERBEDA-BEDANYA MANHAJ DAN AQIDAH?


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan





Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apakah mungkin persatuan itu (akan terwujud) bersamaan dengan berbeda-bedanya Manhaj dan Akidah ?

Jawaban.
Persatuan tidak akan terwujud bersamaan dengan (adanya berbagai kelompok) yang memiliki bermacam-macam manhaj dan akidah, sebaik-baik bukti akan hal itu adalah: Keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul shalallahu 'alaihi wasallam, di mana mereka saat itu berpecah-belah dan saling bertengkar, maka setelah mereka masuk Islam dan berada di bawah bendera tauhid, akidah dan manhajnya menjadi, maka bersatulah mereka, dan berdiri tegaklah daulahnya.

Sungguh Allah Ta'ala mengingatkan tentang hal itu dengan firman-Nya.

"Artinya : Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara."[Ali Imran:103]

Dan Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya shalallahu 'alaihi wasallam.

"Artinya : Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah akan mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [Al-Anfal: 63]

Allah Ta'ala selama-lamanya tidak akan menyatukan antara hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah (kelompok-kelompok) sesat [1], Allah hanya menyatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid. Allah Ta'ala berfirman mengenai orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj Islam dan akidahnya.

"Artinya : Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-pelah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak mengerti." [Al-Hasyr : 14]

Dan firman-Nya.

"Artinya : Dan mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu." [Hud : 118]

"Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Rabbmu", mereka itu ialah orang-orang yang memiliki akidah yang benar dan manhaj yang benar, maka mereka itulah orang-orang yang selamat dari perselisihan dan perpecahan.

Adapun orang-orang yang berusaha menyatukan umat, padahal akidahnya masih rusak, manhajnya bermacam-macam dan berbeda-beda, maka itu adalah (upaya) yang mustahil terwujud, karena sesungguhnya menyatukan dua hal yang berlawanan itu adalah hal yang mustahil.

Karena tidak bisa menyatukan hati dan menyatukan umat ini, kecuali kalimat tauhid [2], yang dimengerti makna-maknanya, diamalkan kandungannya secara lahir dan batin, bukan hanya sekedar mengucapkannya, sedang pada sisi yang lain masih mau menyelisihi apa yang menjadi tuntutannya. Maka sesungguhnya ketika itu kalimat tauhid ini tidak akan ada manfaatnya.

[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufiah ?An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah II, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
_________
Foote Note
[1]. Keadaan firqah-firqah dan hizb-hizb (golongan-golongan yang menyimpang) yang ada di muka bumi saat ini -sebagaimana dikatakan adalah merupakan saksi dan menjadi bukti yang paling nyata, karena mereka berbeda-beda dalam memahami Al-Kitab (Al-Qur'an), dan berbeda-beda dalam mengamalkannya, serta mereka menyelisihi Al-Kitab. Apabila hati manusia itu sepakat dan saling mengenal maka akan menyatu, dan demikian pula sebaliknya.

Sebagaimana Rasulullah menyebutkannya dalam hadits shahih bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Ruh-ruh adalah pasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang saling mengingkari akan berselisih." [HR. Al-Bukhari: 3158]
[2]. Orang-orang yang berusaha menyatukan umat manusia bersamaan dengan rusaknya akidah dan manhaj (berbagai kelompok) yang berbeda-beda itu -sebagai contoh saja bukan hanya terbatas pada contoh ini- pada jaman kita ini adalah firqah Ikhwanul Muslimin (IM) di mana mereka berusaha menyatukan barisan-barisannya yang terdiri dari Rafidhah, Jahmiyyah, Asy'ariyah, Khawarij, Mu'tazilah. Bahkan orang-orang Nasrani pun bisa masuk pada barisan mereka, maka janganlah engkau lupakan perkara yang sangat nyata ini. Wahai para pembaca yang budiman, telah kita lewati ucapan-ucapan beberapa ahli ilmu (ulama) mengenai mereka ini dalam sela-sela kitab ini. Yang kesimpulannya merka (IM) tidak mementingkan dakwah tauhid dan tidak berhati-hati dan memperingatkan kesyirikan. Dan ini adalah meruapan sifat (ciri-ciri) khusus yang dimiliki oleh 'firqah tabligh' pula. Karena Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah (pengikut Sayyid Quthub) tidaklah jauh berbeda dari firqah tabliMUNGKINKAH PERSATUAN (AKAN TERWUJUD) BERSAMAAN DENGAN BERKELOMPOK-KELOMPOK DAN BERGOLONG-GOLONGNYA (UMAT) ? DAN MANHAJ YANG MANA YANG (UMAT) HARUS BERSATU PADANYA?


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan




Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Mungkinkah persatuan (akan terwujud) bersamaan dengan berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan (umat)? Dan manhaj yang mana yang (umat) harus bersatu padanya ?

Jawaban
Persatuan tidak mungkin (akan terjadi) bersamaan dengan berkelompok dan bergolong-golongnya (umat). Karena sesungguhnya golongan-golongan itu saling berlawanan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan mengumpulkan dua hal yang berlawanan adalah hal yang mustahil.

Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Berpeganglah kamu semuanya dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai." [Ali 'Imran: 103]

Kemudian Allah Ta'ala melarang perpecahan dan memerintahkan untuk bersatu dalam satu golongan, yaitu 'Hizbullah' (golongan Allah).

"Artinya : Ketahuilah sesungguhnya golongan Allah itu adalah yang beruntung." [Al-Mujadilah: 22]

Dan firman-Nya:

"Artinya : Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu." [Al-Mukminun: 52]

Golongan-golongan, kelompok-kelompok dan jama'ah-jama'ah yang bermacam-macam bukanlah dari Islam sedikitpun.

Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak sedikit pun kamu termasuk dari mereka." [Al-An'aam: 159]

Dan setelah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam memberitahukan tentang perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga golongan, beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Artinya : Semuanya di neraka kecuali satu."

Maka para shahabat radhiyallahu 'anhum bertanya kepada beliau, "Siapa yang satu ini, ya Rasulullah?" Beliau menjawab:

"Artinya : (Yaitu) orang yang menempuh jalan seperti yang telah aku tempuh dan para shahabatku hari ini." [Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi: 2641, Al-Hakim 1/29, Al-Laalikai I/100, Asy-Syariah: 26 tahqiq Al-Faqi, As-Sunnah oleh Al-Marqaz: 23]

Maka tidak ada firqah najiyah (kelompok yang selamat), kecuali yang satu ini, yang manhajnya ialah: Apa yang telah ditempuh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Inilah manhaj yang (umat) harus bergabung/bersatu dengannya. Adapun manhaj-manhaj yang menyelisihinya, maka akan memecah belah dan tidak akan menyatukan (umat) ini. Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [Al-Baqarah: 137]

Imam Malik berkata: "Akhir umat ini tidak akan bisa diperbaiki, kecuali dengan apa yang telah mampu memperbaiki (generasi) awalnya (sunnah -pent)."

Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islah) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga...." [At-Taubah: 100]

Maka tidak ada (pilihan) lain bagi kita, kecuali bersatu di atas manhaj salaf ash-shalih.

[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufiah ?An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
_________
Foote Note

AL-BAI'AH BAINA AS-SUNNAH WAL AL-BID'AH 'INDA AL-JAMA'AH AL-ISLAMIYAH
[BAI'AT ANTARA SUNNAH DAN BID'AH]


Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Bagian Ketiga dari Sembilan Tulisan [3/9]






PENGANTAR [3/3]
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen harus dengan manhaj Islam, fikrah dan syari'at Allah. Bahkan terhadap individu, tanzhim-tanzhim, jama'ah-jama'ah atau pemerintah-pemerintah yang semuanya sebagai tempat salah dan benar. Karena bencana, kesenjangan, penyakit dan wabah akan menyusup dalam kehidupan Islam dari celah penyimpangan terhadap barometer ini atau usaha merampasnya dari tangan seorang muslim.

Dari sana dapat dipahami bahwa kemaksuman semu diberikan atas sebagian orang, rekomendasi-rekomendasi yang menggelikan yang dibuat untuk berbuat semaunya adalah awal keruntuhan. Karena, ini adalah permulaan praktik penggunaan tujuan-tujuan dan bukan mengemban tanggung jawab. Kadang-kadang hal ini merupakan sifat manusia tatkala dikuasai masa-masa tak berdaya atau menimpa kepada mereka keadaan-keadaan genting, intimidasi pemikiran secara terus menerus, atau rusaknya suasana politik, sehingga hukum dibeda-bedakan menurut orangnya, dan dibentuk penipuan terhadap syariat dalam bentuk sesuatu yang diada-adakan. Serta menumbuh tingkatkan ahli fikih penguasa, baik penguasa harta, pemerintah atau jabatan. Lalu ditakwilkan hadits-hadits dan ayat-ayat menurut kemauan hawa nafsunya. Akibatnya seseorang tidak boleh mengetahui bahwa mengajak untuk komitmen dengan manhaj merupakan barometer dan standard kebenaran dan kebatilan. Sedang tidak iltizam (komitment) dengan seseorang dituduh sebagai sikap ragu terhadap pribadi, merusak perjuangan dan menjauhkan diri dari jama'ah kaum muslimin secara keseluruhan.

Hal ini bukan perkara yang seorang muslim boleh memilihnya. Tetapi pada hakekatnya merupakan pembenaran terhadap langkah kehidupan kaum muslimin dalam berjama'ah dan menghilangkan terisolirnya seseorang dari kehidupan manusia serta upaya berpegang teguh dengan Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya.

"Artinya : Dan dua orang yang saling bercinta karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah di atas keadaan yang demikian" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah]

Maka persatuan harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Berpisahpun harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Kecuali dalam keadaan hilang akal, dan tidak mampu menlihat kebenaran (al-haq) dengan benar disebabkan fanatik golongan, pribadi, ikatan dan kaum. Atau pada keadaan tidak adanya kemauan yang kuat untuk ber-iltizam dengan agama ini. [1]

Ringkasnya ialah : Termasuk pandangan yang salah adalah keyakinan bahwa praktik mengkritik, saling menasehati, amar ma'ruf dan nahi mungkar akan menimbulkan kekacauan di barisan Islam dan kegoncangan dalam beramal. Padahal suatu barisan atau jama'ah yang takut untuk berdialog dengan pobhi untuk saling memberi nasehat, apalagi setan memberi kerancuan kepada sebagian anggotanya bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar akan merusak keberdayaannya adalah jamaah yang tidak dapat dipercaya, tidak berhak untuk langgeng dan tidak punya keahlian untuk mengemban risalah Islam yang tuntunan utamanya adalah amar ma'ruf dan nahi mungkar. Maka orang yang tidak punya sesuatu, tidak mungkin akan memberikan sesuatu tersebut.

Sesungguhnya membuang praktik saling menasehati, menahannya dan menghempaskannya, akan menimbulkan bahaya besar yang akan menimpa pada permasalahan pokok bagi keberlangsungan bentuk amalan dan dakwah. Karena sarana (yaitu saling menolong di dalam perjalanan suatu jama'ah untuk sampai kepada kebaikan yang lebih besar) berubah menjadi tujuan menurut batasan jama'ah tersebut. Sesungguhnya sifat egois dan intimidasi pemikiran yang ada pada sebagian aktifis Islam, merupakan akibat dari hilangnya medan perbuatan keimanan yang kokoh yang dapat melahirkan sifat tawadhu', lemah lembut dan akhlak yang mulia. Pada akhirnya muncul kelompok-kelompok kecil, semacam sekte-sekte baru, sehingga terpecahlah kemampuan berpikir, timbul golongan-golongan dan hilang persatuan, menjadi goncang tangga menuju keutamaan, hilang tempat menghimpun permasalahan-permasalahan, berhenti pekerjaan yang menghasilkan. Sarana-sarana berubah menjadi tujuan (sebagaimana kami telah jelaskan). Gambaran Islam hanya berkisar pada figur-figur yang permasalahan Islam tidak dilihat kecuali dari mereka. Kesungguhan beramal berubah menjadi pekerjaan untuk mendapatkan rekomendasi, lalu pekerjaan memperoleh rekomendasi ini menjadi dominan pada saat memahami studi sebab-sebab terjadinya kemunduran.

Permasalahan ini tidak akan bisa diobati kecuali dengan cara membiasakan berfikir, berdialog dan berpegang teguh dengan adab berselisih yang Islami. Menjadikan amalan yang disyari'atkan sebagai prinsip-prinsip, sedang pemikiran-pemikiran bukan untuk sarana bagi figur-figur tertentu. Karena akidah tempatnya adalah di hati. Tidak ada kekuasaan bagi seorangpun kecuali kekuasaan dalil. Dan menerima sesuatu dengan apa adanya hendaknya dibiasakannya (berhenti pada dalil). Allah subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa tujuan diutusnya beliau adalah memberikan rahmat kepada alam semesta. Allah berfirman.

"Artinya : Tidaklah engkau diutus kecuali sebagai rahmat bagi semua alam" [Al-Anbiya' : 107]

Dan berfirman.

"Artinya : Engkau bukanlah sebagai penguasa bagi mereka" [Al-Ghasyiyah : 22]

Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya juga.

"Artinya : Apakah kamu memaksa manusia agar mereka menjadi orang yang beriman ?" [Yunus : 99]

Dan berfirman.

"Artinya : Seandainya engkau kasar dan keras hati, niscaya mereka lari darimu" [Ali-Imran : 159]

Inilah sebagian langkah-langkah utama dalam berdakwah kepada Allah dan menyebarkan rahmat bagi semua alam. [2]

[Disalin dari kitab Al-Bai'ah baina as-Sunnah wa al-bid'ah 'inda al-Jama'ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai'at antara Sunnah dan Bid'ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
_________
Foote Note.
[1] Nadzarat fi Masirah al-Amal al-Islami, hal. 21-22, Umar Ubaid Hasanah
[2] Idem, hal. 36-37, Umar Ubaid Hasanah



CARA PENANGGULANGAN PERPECAHAN UMAT


Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql




AL-IFTIRAAQ MAFHUMUHU ASBABUHU SUBULUL WIQAYATU MINHU Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya]




Sudah barang tentu, mewaspadai perpecahan dan mencegahnya sebelum terjadi lebih baik daripada menyelesaikannya setelah terjadi.

Seyogyanya kita mengetahui bahwa mewaspadai perpecahan adalah dengan mewaspadai sebab-sebab yang telah kami sebutkan terdahulu.

Namun di sini terdapat beberapa faktor lain yang dapat menangkal terjadinya perpecahan, baik faktor yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Di antara faktor-faktor umum ialah berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hal ini merupakan kaidah agung yang melahirkan wasiat-wasiat serta banyak perkara lainnya. Dan perkara yang terakhir dari kaidah besar itulah yang merupakan faktor khusus, yaitu :

Mengenal petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengannya. Barangsiapa mengikuti petunjuk Nabi, dia pasti mendapat petunjuk insya Allah, dan dapat melaksanakan agama berdasarkan pengetahuan. Dengan begitu ia akan terhindar dari perpecahan atau pertikaian yang menjurus kepada perpecahan tanpa disadari.

Di antara faktor-faktor khusus dalam penanggulangan perpecahan adalah menerapkan pedoman Salafus Shalih , para sahabat, tabi'in dan imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Memperdalam ilmu agama dengan mempelajarinya dari para ulama dan dengan metodologi yang shahih berdasarkan petunjuk ahli ilmu.
Bergaul dengan para ulama dan imam-imam yang berjalan di atas petunjuk yang terpercaya agama, ilmu dan amanahnya. Ahamdulillah mereka masih banyak dan tidak mungkin umat Islam akan kehabisan ulama pewaris Nabi. Barangsiapa berasumsi bahwa mereka akan habis, berarti ia berasumsi bahwa agama Islam akan berakhir. Asumsi seperti ini jelas tidak benar, sebab Allah telah berjanji akan mejaga agama Islam sampai hari Kiamat. Karena umat Islam merupakan perwujudan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang merupakan perwujudan para ahli ilmu dan ahli fiqih akan tetap ada sampai hari Kiamat. Maka barangsiapa menyangka bahwa ahli ilmu akan habis atau tidak ada lagi keteladanan ulama yang menjadi tempat bertanya bagi umat, berarti ia telah menyangka bahwa tidak akan ada lagi Thaifah Manshurah (Kelompok yang mendapatkan petolongan dari Allah) dan tidak ada pula Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Dan ini berarti kebenaran akan hapus dan sirna dari tengah-tengah manusia. Ini jelas menyelisihi nash-nash yang qath'i dan prinsip-prinsip dasar agama.

Menjauhi sikap meremehkan alim ulama atau menyimpang dari mereka dengan segala model dan bentuknya yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan.

Keharusan mengantisifasi fenomena-fenomena perpecahan terutama yang terjadi pada sebagian pemuda, orang-orang yang suka tergesa-gesa, serta orang-orang yang belum memahami cara hikmah dalam berdakwah, belum berpengalaman dan belum memahami Islam

Semangat memelihara keutuhan jama'ah, persatuan dan perdamaian dalam arti umum dengan prinsip-prinsipnya. Setiap muslim, khususnya para penuntut ilmu dan juru dakwah, wajib berusaha memelihara keutuhan jama'ah, persatuan dan pedamaian antar sesama juru dakwah serta penyeru kebaikan dan antara rakyat dan penguasa. Dan menyatukan kalimat untuk menyeru kepada kebaikan dan takwa.

Barangsiapa ingin berpegang teguh kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan selamat dari perpecahan -insya Allah- dia harus menetapi ahli ilmu dan menetapi kaum yang shalih dari kalangan orang-orang yang takwa, orang-orang yang baik dan istiqamah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencelakakan teman duduknya dan tidak menyesatkan rekan sejawatnya. Barangsiapa menginginkan bagian tengah Surga, hendaklah ia komitmen terhadap jama'ah, karena jama'ah adalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya.

Untuk menanggulangi terjadinya perpecahan kita harus menjauhi hizbiyah (bergolong-golongan) sekalipun untuk tujuan dakwah. Dan juga menjauhi sikap fanatik golongan, apapun bentuk dan sumbernya. Karena hal itu merupakan benih-benih perpecahan.

Memberi nasihat kepada penguasa, baik penguasa itu shalih maupun fajir. Begitu pula menasihati khalayak umum. Karena nasihat kepada para penguasa dapat mewujudkan maslahat yang besar bagi umat, dan akan menjadi hujjah di hadapan Allah, atau menjadi penolak bala', penghapus rasa dengki dan dengannya pula akan tegak hujjah. Menasihati penguasa termasuk salah satu wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang terbesar, beliau memerintahkan umatnya supaya bersabar dalam menjalankannya dan berpegang kepada wasiat tersebut. Dan juga merupakan pedoman Salafus Shalih yang membedakan mereka dengan ahlul ahwa dan ahlul iftiraq. Menahan diri dari menasihati penguasa berarti mengabaikan hak Islam dan kaum muslimin. Dan berarti pula memperturutkan hawa nafsu yang akan melahirkan keburukan dan bencana.

Menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar dengan kaidah-kaidah ilmu

PENUTUP
Sebelum berpisah, saya ingin menyampaikan sebuah wasiat khususnya bagi para pemuda : Hendaklah para pemuda banyak berhubungan dengan para ulama. Demikian pula hendaklah mereka banyak bergaul dengan para penuntut ilmu yang terpercaya. Hendaklah para pemuda menimba ilmu agama dan mendalaminya dari mereka. Hormati dan hargailah mereka serta ambillah pendapat mereka dalam perkara-perkara penting yang dihadapi umat. Komitmenlah kepada ketetapan-ketetapan ulama dalam mewujudkan maslahat umat dan dalam menghadapi problematika utama kaum muslimin. Mereka wajib berpegang dengan arahan-arahan ahli ilmu, ahli fiqih, dan ulama berpengalaman demi mewujudkan kemaslahatan umat, memelihara persatuan dan menjaga umat dari ancaman perpecahan. Demikian pedoman Salafus Shalih, petunjuk yang dapat dipakai untuk meneladani para imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan itulah jalan kaum mukminin, petunjuk kaum shalihin dan shiratul mustaqim.

Saya memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi semoga Dia menyatukan kaum muslimin di atas kebenaran, kebaikan dan hidayah. Mempersatukan barisan kaum muslimin dan menolong mereka dalam mengalahkan musuh-musuh mereka. Saya juga memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi semoga kita terhindar dari kejinya fitnah baik yang lahir maupun yang batin. Kita berlindung kepadaNya dari perpecahan, hawa nafsu dan bid'ah. Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, atas keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabatnya.


[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]

wajib bagi kita untuk saling menolong pada permasalahan yang kita bersepakat di dalamnya, seperti membela al-haq dan mendakwahkannya, serta mengingatkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-nya, Adapun saling memberi ma'af sebagian kita kepada sebagian yang lain pada masalah yang kita berbeda pendapat di dalamnya, tidaklah secara mutlak, tetapi perlu dirinci lagi. Kalau permasalahannya termasuk dari masalah-masalah ijtihad yang samar dalilnya, maka wajib untuk tidak mengingkari sebagian kita atas sebagian yang lain. Adapun pada permasalahan yang menyelisihi nash baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengingkari orang yang menyelisihinya, akan tetapi dengan hikmah dan nasehat yang baik serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik. (Tanbihaat Haammah 'ala ma katabahu al-Shabuni fi Shifat Allah 'azza wa Jalla, hal.41 Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz)
FENOMENA BERBILANG-BILANGNYA JAMA'AH


Oleh
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan





Pertanyaan :
Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Fadhilatusy Syaikh di samping kondisi buruk yang melanda umat Islam di tengah-tengah badai pemikiran yang tidak menentu khususnya yang berkaitan dengan agama. Fenomena tersebut melahirkan banyak sekali gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dan mengklaim bahwa manhaj mereka adalah manhaj Islami yang benar dan wajib diikuti. Sehingga seorang muslim seringkali bingung menentukan siapakah yang diikuti dan siapakah yang berada diatas kebenaran ?

Jawaban.
Berpecah belah bukanlah ajaran Dienul Islam. Sebab Islam memerintahkan kita supaya bersatu padu dan berada di atas satu jama'ah yang memiliki aqidah yang satu, yakni aqidah tauhid. Di atas satu asas, yakni mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua ; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku" [Al-Anbiya : 92]

Dan ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [Ali-Imran : 103]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (berpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat" [Al-An'am : 159]

Ayat ini merupakan ancaman yang berat atas setiap tindakan berpecah belah dan saling berselisih. Allah Subhnahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" [Ali-Imran : 105]

Dienul Islam mengedepankan persatuan dan kesatuan. Berpecah belah bukanlah termasuk ajaran agama, berbilang-bilang kelompok juga bukan merupakan ajaran agama. Sebab Dienul Islam memerintahkan kita supaya bersatu di dalam jama'ah yang satu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesama kaum mulimin ibarat satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya"

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Perumpamaan kaum mukminin dalam rasa cinta kasih dan sayang mereka seperti satu jasad"

Sebagaimana dimaklumi bahwa bangunan ataupun jasad adalah satu kesatuan yang tidak dapat dicerai beraikan. Sebuah bangunan yang telah tercerai berai pasti roboh. Demikian pula jasad kita tercerai berai pasti mati. Maka tiada lain harus bersatu padu, harus berada dalam satu kesatuan satu jama'ah yang berasaskan tauhid dan mengikuti metodologi dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta menapaki nilai-nilai Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutillah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa" [Al-An'am : 153]

Kelompok yang berbilang-bilang jumlahnya dan saling bercerai-berai seperti yang dapat disaksikan pada hari ini sama sekali tidak direstui Dienul Islam, bahkan Islam sangat melarang hal itu. Dienul Islam memerintahkan supaya bersatu di atas aqidah tauhid dan pedoman Islam dalam satu jama'ah. Sebagaimana hal itu telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbilang-bilang jama'ah merupakan tipu daya setan dari jenis manusia dan jin terhadap umat ini. Orang-orang kafir dan munafik dari dahulu senantiasa menebar jaring-jaring makar dan tipu muslihat untuk memecah belah persatuan umat. Sejak dahulu orang-orang Yahudi telah mengatakan seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur'an.

"Artinya : Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya) : "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu'min)kembali (kepada kekafiran)" [Ali Imran : 72]

Yaitu supaya kaum muslimin murtad dari agama mereka jika melihat kamu murtad dari agama mereka. Berkaitan dengan kaum munafikin Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar) : "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)". Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami" [Al-Munafiqun : 7]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu" [At-Taubah : 107]


[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 54-59 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]

seharusnya manusia itu lebih-lebih para pemuda- antusias terhadap ilmu dan mengkajinya, tapi dengan cara yang tenang dan mencari kebenaran, bukan dengan perdebatan, kekerasan atau kakasaran sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Saya berharap jama'ah ini bisa berhubungan dengan yang lainnya dan bersatu pada kalimat yang sama. Yang ini belajar ilmu dari yang itu, sementara yang itu belajar akhlak dan adab dari yang ini. Wallahu a 'lam.

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimi
n


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa nasehat Syaikh sehubungan dengan para pemuda yang multazim dalam berhadapan dengan sesamanya dan dalam menghadapi fenomena saling berlepas diri antar mereka? Bagaimana pula pandangan Syaikh tentang banyaknya jama'ah saat ini? Apakah Syaikh menyarankan saya untuk bergabung dengan jama'ah tabligh dan khuruj (keluar untuk dakwah) bersama mereka?

Jawaban
Fenomena yang dialami oleh para pemu
da, yaitu perpecahan dan saling menganggap sesat serta menimpakan rasa permusuhan terhadap orang yang tidak sejalan dengan manhaj mereka, tidak diragukan lagi, bahwa ini sangat disesalkan dan disayangkan. Bisa jadi hal ini menyebabkan hantaman yang besar. Perpecahan semacam ini merupakan dambaan para setan dari golongan jin dan manusia, karena setan-setan manusia dan jin tidak menyukai para ahli kebaikan bersatu padu, mereka menginginkan perpecahan, karena mereka tahu persis bahwa perpecahan itu akan menghilangkan kekuatan yang hanya bisa dicapai dengan iltizam dan ittijah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini ditunjukkan oleh ayat-ayat berikut:

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu"[Al-Anfal : 46].

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." [Ali Imran: 105]

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka." [Al-An'am : 159]

"Artinya : Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya" [Asy-Syura : 13]

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita bercerai berai dan menjelaskan akibatnya yang mengerikan. Dan yang wajib bagi kita adalah menjadi satu umat dan satu kalimat. Sebab, perpecahan berarti merusak dan memecah kekuatan serta melahirkan kelemahan umat. Adalah para sahabat radhiyallahu a’nhum, walaupun terjadi perselisihan antar mereka, tapi tidak sampai terjadi perpecahan dan permusuhan. Perselisihan antar para sahabat memang pernah terjadi, bahkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Tatkala Nabi kembali dari peperangan, Jibril mendatanginya dan menyuruhnya ke Bani Quraizhah karena mereka melanggar kesepakatan, lalu Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada para sahabat yang diutusnya,

"Tidak seorang pun yang shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah."

Para sahabat utusan pun segera bertolak dari Madinah menuju Bani Quraizah, ketika tiba waktu shalat Ashar, sebagian mereka mengatakan, "Kita tidak boleh shalat (Ashar) kecuali di tempat Bani Quraizhah walaupun matahari telah terbenam, karena tadi Nabi Saw berpesan, "Tidak seorang pun yang shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizah."[1] Lalu kita katakan, "Kami mendengar dan kami patuhi."

Sementara itu, ada pula di antara mereka yang mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan agar kita bersegera dan cepat-cepat berangkat, beliau tidak menginginkan kita menunda shalat." Berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak memarahi dan tidak mencela seorang pun di antara mereka karena pemahamannya, dan mereka sendiri tidak berpecah belah karena perbedaan dalam memahami pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Dari itu, hendaknya kita tidak berpecah belah tapi tetap menjadi satu umat. Jika dikatakan, "Ini dari golongan salaf, ini dari golongan ikhwan, ini dari golongan tabligh, ini dari golongan sunni, ini dari golongan pengekor, ini dari anu, ini dari anu, ini dari anu." Kita akan berpecah belah dan ini bahayanya sangat besar. Yang kita harapkan, bahwa pergerakan Islam ini adalah saling mendukung jika memang pergerakan ini telah melahirkan berbagai kelompok yang terpecah-pecah, saling menganggap sesat dan saling menganggap bodoh.

Untuk memecahkan problema ini hendaknya kita menempuh cara yang ditempuh oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan memahami bahwa perbedaan ini terlahir dari ijtihad dalam masalah yang menuntut ijtihad, dan mengetahui bahwa perbedaan ini tidak menimbulkan pengaruh karena pada hakikatnya tetap sepakat. Bagaimana itu? Saya berbeda dengan anda dalam suatu masalah karena konsekuensi dalil saya berbeda dengan yang anda utarakan. Anda berbeda pendapat dengan saya dalam masalah anu, karena konsekuensi dalil anda berbeda dengan yang saya utarakan. Saya tetap menghormati dan memuji anda karena anda berani berbeda dengan saya, namun saya tetap saudara dan teman anda, karena perbedaan ini merupakan konsekuensi dalil anda, maka kewajiban saya adalah tidak merasa bermasalah dengan anda, bahkan saya memuji anda karena pendapat itu, dan anda pun demikian. Jika kita mengharuskan salah seorang kita untuk menerima pendapat yang lain, maka pemaksaan saya terhadapnya untuk menerima pendapat saua tidak lebih baik daripada pemaksaannya terhadap saya untuk menerima pendapatnya. Karena itu saya katakan, kita harus menjadikan perbedaan yang bertolak dari ijtihad ini sebagai kesepakatan, bukan perselisihan sehingga menjadi satu kalimat dan mencapai kebaikan.

Jika ada yang mengatakan, Terapi ini tidak mudah diterapkan pada orang awam, bagaimana solusinya?

Solusinya: Pertemukan para pemimpin dan para tokoh dari setiap kelompok untuk mengkaji dan membahas inti perbedaan sampai kita bisa bersatu dan berpadu.

Pada suatu tahun, pernah diadukan suatu masalah di Mina -kepada saya dan beberapa ikhwan- mungkin ini terdengar aneh oleh kalian. Saat itu, ada dua kelompok, masing-masing terdiri dari tiga atau empat laki-laki, masing-masing menuduh kafir dan melaknat yang lainnya, padahal mereka para haji dan pentolan-pentolannya. Salah satu kelompok mengatakan, bahwa kelompok lainnya itu melaksanakan shalat dengan menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada, ini pengingkaran terhadap As-Sunnah, karena sesuai As-Sunnah, menurut kelompok ini, adalah mengulurkan (membiarkan) tangan pada paha. Sementara kelompok satunya mengatakan, bahwa mengulurkan tangan pada paha dan tidak menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah kufur dan pantas dilaknat. Perselisihan mereka cukup keras. Tapi dengan fadhilah Allah, lalu usaha ikhwan-ikhwan dengan menjelaskan persatuan yang seharusnya diemban oleh umat Islam, mereka akhirnya menerima dan masing-masing rela terhadap yang lainnya.

Lihatlah bagaimana setan mempermainkan mereka dalam masalah khilafiyah tersebut hingga mencapai tingkat saling mengkafirkan. Padahal itu salah satu sunnah, bukan rukun Islam, bukan fardhu dan bukan kewajiban. Intinya, sebagian ulama berpendapat bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada adalah sunnah, sementara yang lain mengatakan bahwa yang sunnah adalah mengulurkan tangan (membiarkannya dan tidak sedakep). Sementara yang benar, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah adalah memposisikan tangan kanan di atas lengan kiri, sebagaimana dikatakan oleh Sahl bin Sa'd yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, "Orang-orang diperintahkan untuk memposisikan tangan kanan pada lengan kirinya ketika shalat."[2]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi saudara-saudara kita yang memiliki acuan dan metode dalam sarana dakwah, persatuan, kecintaan dan kelapangan dada. Jika niatnya baik tentu akan mudah mengobatinya, tapi jika niatnya tidak baik, masing-masing bangga dengan pendapatnya dan tidak mengakui yang lainnya, keberhasilannya akan jauh.

Catatan: Jika perbedaan itu dalam masalah aqidah, maka itu harus diluruskan. Jika bertentangan dengan manhaj para pendahulu umat, maka itu harus diingkari dan mengingatkan orang yang menganut paham yang bertentangan dengan paham para pendahulu umat ini.

Adapun mengenai jama'ah Tabligh, menurut hemat saya, mereka adalah suatu kelompok yang dengan itu Allah memberikan manfaat yang besar. Berapa banyak orang durhaka yang ditunjuki Allah melalui tangan mereka, dan berapa banyak orang kafir yang memeluk Islam di tangan mereka. Pengaruhnya, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Tapi, tidak diragukan lagi, bahwa mereka itu masih belum banyak tahu, mereka membutuhkan para penuntut ilmu untuk menyertai mereka dan menjelaskan kepada mereka tentang hal-hal yang biasa mereka lakukan dan mereka kira bahwa itu tidak apa-apa dan bermanfaat, padahal sebenarnya perlu diluruskan. Misalnya, mengharuskan sebagian mereka untuk khuruj selama tiga hari, empat hari, empat puluh hari, enam bulan dan sebagainya, kemudian mengatakan, "Kami melakukan ini sebagai sarana, bukan tujuan. Yakni, kami tidak berkeyakinan bahwa hal ini disyari'atkan atau merupakan ibadah kepada Allah, tapi kami berkeyakinan bahwa ketentuan ini untuk meneguhkan dan mengeksiskan." Yaitu dengan turut serta berdakwah, melaksanakan dan berpindah-pindah dan sebagainya.

Menurut saya, mereka itu baik, banyak memberikan manfaat dan kebaikan. Hanya saja, mereka masih kurang ilmu sehingga membutuhkan para penuntut ilmu untuk menjelaskan kepada mereka.

Catatan saya tentang mereka, bahwa sebagian mereka saya tidak mengatakan mereka semua jika anda ikut berdiskusi dengan mereka dalam masalah ilmu, ia tidak senang, tidak suka berdebat atau mendalami ilmu. Jelas ini suatu kesalahan, karena seharusnya manusia itu lebih-lebih para pemuda- antusias terhadap ilmu dan mengkajinya, tapi dengan cara yang tenang dan mencari kebenaran, bukan dengan perdebatan, kekerasan atau kakasaran sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Saya berharap jama'ah ini bisa berhubungan dengan yang lainnya dan bersatu pada kalimat yang sama. Yang ini belajar ilmu dari yang itu, sementara yang itu belajar akhlak dan adab dari yang ini. Wallahu a 'lam.

[Fatawa aq‘diyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 778-783]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Khauf (946) Muslim dalam Al-Jihad (1770). Namun dalam lafazh Muslim kalimat disebutkan “Zhuhr” bukan “Ashr”.
[2]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adzan (740).

SEBAB-SEBAB PERPECAHAN


Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql
Bagian Ketiga dari Lima Tulisan [3/5]




AL-IFTIRAAQ MAFHUMUHU ASBABUHU SUBULUL WIQAYATU MINHU [Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya]


[5]. Perpecahan Mesti Diiringi Dengan Ancaman, Berbeda Halnya Perselisihan

Di antara sebab-sebab perpecahan adalah asumsi yang berkembang bahwa mengikuti para imam-imam yang berada di atas hidayah dan ilmu sebagai sikap taqlid (membebek) yang dilarang. Kerancuan seperti ini sering kita dengar dari sebagian orang yang sok tahu. Mereka berkata : "Mengikuti syaikh-syaikh adalah taqlid". Sementara taqlid tidak dibolehkan dalam agama, mereka manusia dan kita juga manusia, kita berijtihad sebagaimana mereka berijtihad, kita memiliki sarana berupa buku-buku, zaman sekarang sarana ilmu tersedia lengkap, mengapa kita harus mengambil ilmu dari ulama ? Bahkan mengambil ilmu dari ulama termasuk taqlid, sementara taqlid itu sendiri adalah batil!

Kita jawab : 'Benar, taqlid memang batil, namun apa pengertian taqlid itu? Ada beberapa perbedaan mencolok antara taqlid dengan mengikuti petunjuk para imam. Secara syar'i, mengikuti para imam hukumnya wajib. Sementara mayoritas kaum muslimin, bahkan banyak dari kalangan penuntut ilmu, tidak mampu berijtihad dengan benar dan tidak mampu mengambil dasar-dasar ilmu dengan cara yang benar.

Lalu dari mana mereka mengambil ilmu?

Dan bagaimana mereka mempelajarai metodologi memahami agama dengan benar, kaidah-kaidah sunnah nabi dan pedoman-pedoman Salafus Shalih dan para imam ?

Tidak ada jalan lain kecuali mengikuti alim ulama. Jelaslah hal itu bukan taqlid. Bila tidak demikian, maka setiap orang akan menjadi imam bagi dirinya sendiri dan setiap orang akan memecah menjadi kelompok tersendiri. Konsekwensinya, kelompok-kelompok tersebut akan berpecah sebanyak jumlah manusia. Hal itu tentu saja batil. Jadi jelaslah bahwa mengikuti para imam yang berada di atas petunjuk dan ilmu bukanlah termasuk taqlid. Hanya mengikuti secara membabi buta sajalah yang layak dikatakan taqlid!

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui" [Al-Anbiya' : 7]

Salah satu gejala yang berbahaya adalah belajar hanya dengan mengandalkan sarana-sarana ilmu (seperti buku dan sejenisnya). Misalnya seorang penuntut ilmu merasa cukup mengambil ilmu melalui buku-buku lalu menyingkir dari manusia, menjauhkan diri dari ulama, mengabaikan orang-orang shalih, orang-orang yang berjasa terhadap Islam yang menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, serta memisahkan diri dari ulama, ia berkata : 'Saya cukup belajar dari buku-buku, kaset-kaset, radio dan lain-lain'. Kemudian ia bekata lagi : 'Saya mampu belajar melalui sarana-sarana ini!'.

Jawaban kami : 'Tentu saja, sarana-sarana ini merupakan nikmat, tetapi juga merupakan senjata bermata dua. Merasa cukup belajar ilmu-ilmu syar'i melalui sarana-sarana itu merupakan kekeliruan dan merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan umat. Karena hal itu akan mendorongnya untuk beruzlah (menyendiri) yang dilarang. Atau akan memunculkan sosok ahli ilmu yang tidak baik, karena mereka mengambil ilmu tidak sebagaimana mestinya, tidak berdasarkan kaidah dan tanpa petunjuk dan bimbingan alim ulama. Mereka mengambil ilmu menurut cara mereka sendiri, dengan hawa nafsu, perasaan dan perhitungan pribadi mereka sendiri. Apabila terjadi pertikaian, mereka menyimpang dan menolak pendapat ulama. Padahal meskipun seseorang mempunyai kepandaian dan kemampuan serta memiliki keahlian khusus seperti apapun, ia tidak akan mungkin dengan sendirinya akan sampai kepada kebenaran selama ia tidak mengenal pedoman-pedoman salaf dan ahli ilmu pada zamannya.

Namun, para pemuda bersama para ulama harus bahu membahu menanggulangi persoalan ilmiah atau problematika umat. Jika para pemuda itu tidak melakukan hal itu, mereka akan binasa dan membinasakan orang lain.

Bahkan sarana-sarana tersebut memberikan gambaran sosok orang-orang yang disebut para intelektual kepada kita. Mereka mengetahui sejumlah maklumat yang membuat orang-orang takjub. Namun mereka tidak mengerti kaidah-kaidah dasar agama, tidak mengerti pedoman Salafus Shalih, mereka dapati orang-orang mengikuti mereka tanpa ilmu. Fenomena seperti ini banyak kita dapati sekarang ini dalam beragam bentuk dan modelnya. Bahkan ada juga di antara orang-orang model begitu yang menjadi juru dakwah dan pembina para pemuda hanya karena memiliki maklumat dan pengetahuan umum yang membuat orang-orang awam tercengang. Kadangkala mereka juga mengetahui sejumlah masalah-masalah syari'at, namun tidak menguasai kaidah-kaidahnya, tidak mengerti tata cara memahaminya, tidak mengerti cara penerapan dan operasionalnya serta tidak mengerti metode ahli ilmu dalam mengupas persoalan-persoalan ilmiah berikut penerapannya di lapangan.

[6]. Kurang Memahami Kaidah-Kaidah Berselisih Pendapat

Di antara sebab-sebab perpecahan adalah kurang memahami kaidah-kaidah berselisih pendapat.

Yang saya maksud di sini adalah mengenal hukum-hukum berbeda pendapat antara dua orang muslim dan efek yang timbul di balik itu. Mana saja yang boleh diperselisihkan dan mana yang tidak. Jika ada seseorang menyelisihi, bilakah penyelisihannya itu dapat ditolerir ? Bilakah kita boleh memvonisnya kafir atau fasik ? Apakah vonis seperti itu boleh dijatuhkan oleh siapa saja ? Banyak sekali orang yang tidak mengetahui perincian masalah tersebut. Terkadang dari sinilah muncul perpecahan yang seharusnya tidak terjadi !

Demikian pula dangkalnya pemahaman tentang kaidah-kaidah ijma' dan jama'ah. Memahami kaidah-kaidah tersebut sangat penting sekali yang dewasa ini banyak diabaikan oleh mayoritas penuntut ilmu syar'i. Di samping mereka juga tidak memahami tujuan dan makna persatuan umat, kaidah-kaidah jama'ah, bahkan banyak di antara mereka yang tidak mengerti titik-titik rawan perpecahan dan sebab terjadinya, titik rawan fitnah dan sebab pecahnya fitnah. Mereka tidak memahami mana saja hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang tetap dan yang dapat berubah-ubah.

Ciri mereka adalah jahil terhadap kaidah-kaidah umum syari'at dan hikmah-hikmah umum syari'at, seperti kaidah-kaidah yang berkaitan 'mengambil maslahat dan menolak mafsadah', kaidah 'kesulitan mendatangkan kemudahan', kaidah penetapan bilakah seseorang mendapat dispensasi, bilakah kaidah 'darurat' dapat diterapkan, dan bagaimana caranya menerapkan seperangkat kaidah tentang 'darurat', hukum-hukum pada masa fitnah, perdamaian. Mereka juga tidak mengetahui kaidah dan etika bermu'amalah terhadap orang yang beselisih pendapat dengannya, etika terhadap ulama dan penguasa. Oleh karena itu kita dapati banyak di antara mereka yang tidak dapat membedakan antara kondisi gawat dan fitnah dengan kondisi aman dan damai, akibatnya keliru dalam berkomentar dan menetapkan hukum. Ini jelas merupakan kekeliruan besar dan salah satu sebab perpecahan.

Saya beri contoh tentang pertikaian yang terjadi antara saudara-saudara kita di Afghanistan. yaitu pertikaian yang terjadi di wliayah Kunar. Orang yang punya bashirah kana mengetahui bahwa pertikaian yang terjadi bukan antara haq dan batil secara mutlak. Atau bukanlah pertikaian dalam masalah aqidah secara mutlak. Tidak ada dalih qath'i yang menunjukkan bahwa kebanaran ada pada salah satu dari dua pihak yang bersengketa. Hanya saja menurut sebagian orang, kebenaran lebih condong pada salah satu dari dua pihak tersebut. Sementara menurut orang lain justru sebaliknya. Maka cara yang paling tepat adalah mencari kejelasan lalu berusaha menciptakan perdamaian dan memadamkan api pertikaian dan mengembalikan permasalahan kepada ahli ilmu[1]

Akan tetapi yang berkomentar tentang fitnah itu adalah orang-orang yang tidak mengerti hukum seputar fitnah, dan kapan waktunya harus angkat bicara dan kapan waktunya harus diam. Kapan kita boleh mengomentari seseorang dan menjatuhkan vons atasnya dan kapan hal itu tidak dibolehkan. Sementara ia tidak punya pengetahuan tentang kemaslahatan umat Islam yang besar. Kemaslahatan yang berlaku bagi terciptanya persatuan umat Islam. Bagaimana menyatukan persepsi dan mengadakan perdamaian. Serat keharusan menahan diri berbicara apabila dengannya api fitnah akan berkobar. Dan menjauh dari pertikaian yang tengah terjadi antara dua kelompok muslim di tengah-tengah situasi fitnah, mencegah kerusakan dan tindakan-tindakan lainnya.

Sungguh banyak sekali orang yang tidak memiliki bashirah dan ilmu pengetahuan mencampuri persoalan ini. Mereka tidak mengambil petunjuk dari ucapan ahli ilmu dan tidak meminta pengarahan dari para syaikh yang ada di tengah-tengah mereka. Mereka justru berambisi agar para ulama menerima pendapat-pendapat mereka. Akan tetapi mereka sendiri tidak mau mendengar arahan para ulama


[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_________
Foote Note.
[1] Komentar Dr. Nashir bin Abdul Karim menanggapi pertikaian di wilayah Kunar sangat keliru. Kelihatannya Dr. Nashir menhandarkan komentarnya ini kepada informasi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu hendaklah Dr. Nashir mencari kejelasan -sebagaimana yang dikatakannya di atas tadi- dari sumber yang terpercaya dan kalangan Salafiyin yang hadir dan menyaksikan dari dekat hakikat pertikaian yang terjadi di sana, agar tidak menzhalimi dakwah tauhid dan ahli tauhid di wilayah Kunar As-Salafiyah.
Perlu pembaca ketahui, bahwa pertikaian di wilayah Kunar adalah pertikaian antara haq dan bathil, pertikaian antara Muwahhidin (ahli tauhid) yang dipimpin oleh tokoh Salafi wilayah Kunar Syaikh Jamilurrahman dengan kaum Quburiyyin. Jelas pertikaian di sana adalah pertikaian dalam masalah prinsipil, yaitu masalah aqidah. Jadi dalam pertikaian tersebut kebenaran tidaklah samar sebagaimana yang digambarkan oleh Dr. Nashir -semoga Allah memaafkannya Sungguh sangat menyayat hati kita bila pembantaian para Muwahhidn yang dilakukan kaum Quburiyin itu dianggap bukan merupakan perseteruan antara haq dan batil

Dipicu kegerahan kaum Quburiyin melihat perkembangan dakwah tauhid yang marak di wilayah Kunar. Kebencian kaum Quburiyin terhadap kaum Muwahhidin yang mereka juluki Wahhabiyah ini memuncak hingga sebagai klimaksnya adalah pengepungan wilayah Kunar dan pembantaian penduduknya yang mayoritas adalah para Muwahhidin. Hingga beredarlah semboyan di tengah-tengah mereka bahwa membunuh seorang wahabi lebih baik daripada membunuh sepuluh orang komunis!. Hingga akhirnya Syaikh Jamilurrahman Rahimahullah juga terbunuh tidak lama setelah itu.

Setelah peristiwa berdarah itu, kaum Quburiyin yang dipimpin oleh Hikmatyar menggelar tabligh akbar menyatakan berlepas diri dari peristiwa tersebut, ironinya hal ini disambut gegap gempita oleh Ikhwaniyin (pengikut Ikhwanul Muslimin)! Inna Lillahi wa inna Ilaihi raji'un –pent


FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUSSUNNAH DAN SOLUSINYA


Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr



Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.
Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.

Adanya Fenomena Diatas Disebabkan Dua Hal:

Pertama.
Ada sebagian ahlussunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.

Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada Ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlussunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.

Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”

Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya. Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun ahlak.

Kedua.
Ada sebagian Ahlussunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlussunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.

Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.

Solusi Permasalahan Ini

Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

[2] Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.

[3] Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”

[4] Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.


Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

[2] Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

[3] Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

[4] Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

“Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut. Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.

“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist: Beliau berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

“Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:

“Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

“Jangan marah,”

Kemudian yang terakhir hadist:

“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Saya Berkata :
Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas.

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figur tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.
Share this Article on :

0 comments:

Post a Comment

 

© Copyright BERSATU DALAM ISLAM 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.