Oleh Ustadz
Abu Umar Al Maidani hafizhahullahu ta’ala
Cinta itu
anugerah. Tak seorangpun menampiknya. Karena anugerah, maka cinta kerap datang
secara tiba-tiba, bahkan seringkali tanpa si pemilik cinta menghendaki
kehadirannya. Yah, betapa banyak di antara kita yang ‘menyesal’ karena lebih
menyukai gudeg ketimbang burger. Tapi kecintaan pada makanan itu datang
begitu saja.
Persoalannya,
meski cinta datang tak terduga-duga, ia selalu punya alasan kenapa hadir dalam
kehidupan nyata. Cinta selalu datang dari pipa saluran yang berbeda-beda, meski
sumbernya adalah sama. Berbeda pipa, karena berbeda alasan. Masing-masing
alasan menentukan kwalitas cinta. Bingung? Mari deh, kita simak penuturannya
berikut ini.
Cinta,
Selalu Punya Alasan
Kita boleh
saja menukas, bahwa cinta itu menyerbu hati kita, tanpa kita pernah memintanya.
Selain blind (buta), cinta juga blue (tak terduga-duga). Tapi
kenyataannya, cinta selalu punya alasan ketika ia hadir di hati kita.
Okey,
sebagai contoh, kita kembali ke soal makanan. Masyarakat Indonesia, meski kaya
dengan beragam makanan, tapi miskin keragamam makanan pokok. Selain beberapa
wilayah di tanah air yang memilih sagu atau jagung sebagai makanan pokok,
umumnya masyarakat Indonesia hanya mengenal satu jenis makanan pokok: nasi.
Orang Cina
sangat akrab dengan tiga jenis makanan pokoknya: Mie, Bakpao dan nasi. Yang
manapun yang mereka santap, mereka tetap merasa bisa kenyang dengan nyaman.
Masyarakat
Arab akrab dengan roti gandum, nasi dan makaroni sebagai makanan pokok.
Masyarakat
Barat dan Eropa nyaman menyantap roti dan nasi sebagai makanan pokok.
Sebagian
masyarakat Amerika Latin setidaknya akrab dengan dua jenis makanan pokok: Talas
dan kacang merah.
Lalu,
bisakah sebagai orang Indonesia kita mengatakan, “Kami dilahirkan, sudah
sebagai penikmat satu jenis makan pokok saja. Cinta kami, hanya untuk nasi
sebagai makanan pokok. No way untuk roti apalagi kacang-kacangan?”
Sebagai de
facto, mungkin bisa. Secara de jure itu tak masuk akal.
Cinta kita
kepada nasi sebagai makanan pokok tunggal, bukanlah semata-mata suratan. Tapi
karena kita juga sengaja berprilaku ngotot, untuk sekali nasi tetap nasi. Untuk
tak mau membiasakan diri menyantap jenis lain dari makanan pokok pengganti.
Padahal, suka ada karena biasa. Witing trisna jalaran saka kulina. Nasi
punya alasan kenapa ia menjadi primadona di lidah kita: karena kita yang
mengundangnya secara sendirian dalam kehidupan makan kita.
Jadi, salah
satu alasan cinta itu hadir: karena kita mengundang dan membiasakannya.
“Orang
yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai
beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara
dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja.
Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri
keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya,
sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[1]”
Alasan-alasan
Cinta
Cinta tentu
punya banyak alasan untuk hadir di hati kita. Bila kita mau merenunginya,
sungguh banyak keajaiban di sana.
Sebagian
orang beralasan, bahwa ia mencinta calon isterinya dahulu, karena keindahan
matanya. Siapa yang menyuruh dirinya untuk begitu peduli mencermati calon
mempelainya sebegitu rupa?
Tentu ada
latar belakang, kenapa ia begitu memuliakan mata. Sehingga cinta itupun ia betot
untuk hadir, hanya karena keindahan sepasang mata.
Yah, bisa
jadi ia membiasakan dirinya untuk meneliti berbagai jenis mata manusia. Yang
hitam pekat bulatan tengahnya, yang bercampur biru warnanya, yang sering
dibilang sebagai mata kucing, yang sipit, yang belo, yang sayu……yang ini
dan yang itu. Mata, ternyata begitu banyak jenisnya.
Soal
binatang kesayangan dia juga kerap menilai dari keindahan matanya. Itu sah-sah
saja. Tapi selera itu tak muncul tiba-tiba.
Eh, ada
seorang teman saya, yang menikahi calon isterinya dahulu, setelah mendengarkan
kemerduan suaranya melantunkan ayat-ayat Allah…..
Selidik
punya selidik, ternyata ia memang gemar membaca Al-Quran, sangat memerhatikan
tajwid, tahsin dan makraj huruuf dalam bacaan Al-Quran. Maka seorang wanita
shalihah, semakin bertambah nilainya hingga berkali-kali lipat, bila ketahuan
bersuara indah dalam melantunkan ayat-ayat Allah.
Ehm, ada
juga seorang teman yang menikahi wanita, setelah tahu sang calon isteri
memiliki kemampuan bela diri yang memikat. Ternyata, ia sangat mengagumi tokoh
Ummu Khalat dalam sejarah para Sahabat Nabi n. Seorang wanita bercadar, yang
pernah ikut dalam peperangan sedemikian gagahnya. Nabi dan para Sahabat mengira
ia seorang ksatria muslim yang tidak dikenal. Ternyata, ia adalah ‘pendekar’
muslimah bernama Ummu Khalat!
Alasan, atau
dalam bahasa fiqihnya ‘illat, menjadi pencetus munculnya kesimpulan
hukum. Cinta itu adalah hukum. Dan setiap hukum muncul bersama ‘illatnya.
Apakah illat cintamu?
Ini, yang
harus kita renungi baik-baik.
Alasan cinta
atau ‘illat cinta, muncul dari pipa yang berbeda-beda. Ada pipa
keyakinan atau ideologi. Ada pipa pergaulan atau sosial. Ada pipa wawasan dan
ilmu pengetahuan atau science dan tsaqaafah. Ada juga pipa
budaya, suku, keluarga, hobi, dan seterusnya.
Dari pipa
manapun alasan cinta itu bermula, carilah kemenangan dengan agama sebagai basis
powernya. Itulah salah satu yang dapat kita mengerti dari sabda Nabi n,
فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Menanglah
dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka” (dirimu akan selamat dari cela).”
[2]
Agama,
dijadikan sebagai starting powernya. Dari wilayah itu sebagai basis
kekuatan memilih, seseorang bisa meragamkannya sesuai dengan berbagai latar
belakang yang dia miliki.
Ia bisa
memilihnya melalui pipa hobi, kecendrungan, ilmu pengetahuan, atau apa saja.
Selama itu tidak berlawanan dengan konsep agama, dan selama ia berjalan
bersinergi dengan nilai-nilai agama dan keyakinan yang lurus, ia bisa menjadi
alasan kehadiran cinta.
gantungan
tali Cinta
ketika cinta
itu datang dengan segala alasannya; dengan satu, dua, tiga atau sekian alasan
berbeda-beda sekaligus, tentu ia hadir bukan menggantung di awang-awang.
Cinta
mengalir dari endapan pandangan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung,
dan campuran berbagai nuansa rasa yang menumpuk di hati, lalu membentuk cita
rasa baru yang unik dan mengejutkan. Itulah cinta,
Saat ia
muncul, ia bergantung pada sesuatu yang menjadi kekuatan wujudnya. Kalau cinta
itu muncul akibat kesamaan visi dan misi kehidupan, maka cinta itu akan luntur
saat visi dan misi dua orang yang saling mencintai itu kemudian bertabrakan
atau bersimpangjalan.
Kalau
cinta itu muncul karena dorongan ambisi-ambisi duniawi tertentu, maka
berkurangnya kwalitas dan kwantitas dunia yang direngkuh, akan membuat cinta itu
kian lama kian kehilangan maknanya.
Namun, bila
cinta itu bergantung pada perjalanan mengejar cinta Yang Maha Kuasa, Allah,
Ar-Rahmaan Ar-Rahiem, maka cinta itu akan abadi, selama iman masih di kandung
badan.
Abu Hurairah
t meriwayatkan dari Rasulullah r,
“Ada
se-orang laki-laki mengunjungi saudaranya di suatu kampung lain. Allah kemudian
mengutus satu malaikat untuk mengawasi Madrajatahu[3]. Ketika
sampai kepadanya, malaikat berkata,
“Anda mau ke
mana?”
“Saya ingin
mengunjungi saudaraku.” Jawabnya.
“Apakah ada
sebab mendorong Anda untuk menziarahinya?”[4] Tanya malaikat itu
lagi.
“ Tidak ada,
selain aku mencintainya karena Allah.” Jawab orang itu pula.
Malaikat itu
berkata, “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untuk Anda. Bahwa Allah I telah
mencintai Anda sebagaimana Anda mencintai dia karena-Nya.”[5]
أَوْثَقُ
عُرَى اْلإِيْمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِيْ اللهِ، وَتُبْغِضَ فِيْ اللهِ
“Pokok-pokok
iman yang paling kuat adalah Anda mencintai karena Allah dan membenci karena
Allah.”[6]
Maka,
selidikilah terus menerus, di mana tali cinta kita bergantung. Betapa banyak
orang yang kita cintai di dunia ini. Begitu berlimpah hal-hal dan sesuatu yang
kita cinta di muka bumi ini. Di manakan tali cinta-cinta itu bergantung?
Apakah pada
janji kehidupan dunia yang fana ini?
Apakah pada
petuah dan nasihat manusia saja?
Apakah pada
ambisi dan hasrat dunia semata?
Apakah pada
fanatisme kekeluargaan, kesukuan dan kebangsaan saja?
Bila memang
demikian, binasalah segala cinta yang ada. Karena segala sesuatu, selain Allah,
pasti akan mengalami kebinasaan. Cepat atau lambat.
Di manakan
tali cinta kita bergantung……………………………..????
[1]
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[2] Arti “Taribat
Yadaak”, adalah bersentuhan dengan bumi. Itu merupakan bahasan kiasan yang
artinya: membutuhkan. Ungkapan itu berwujud berita, tetapi artinya sebagai
perintah. Lihat Fathul Bari IX : 38 – 39
[3] Jalannya
[4]
“Tarubbuha” bermakna “berupaya memperbaikinya” dan “bangkit karenanya”
[5] HR.
Muslim, No. 38, 4/1988
[6] HR.
Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, No. 11537; Ibnu Syaibah dalam Al-Iman,
hlm. 110, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, No. 1728
0 comments:
Post a Comment