Keenam Belas:
Sesungguhnya perayaan maulid adalah amalan yang boleh menghidupkan
semangat kita untuk mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, dan ini adalah perkara yang disyari’atkan.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtifal halaman 20.
Bantahan:
Cara mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bukanlah dengan berbuat bid’ah yang telah baginda larang,
akan tetapi dengan cara meninggalkan semua jenis bid’ah (termasuk di
dalamnya perayaan maulid) dan semua perkara yang baginda larang.
Mengingat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, (kalau sekadar itu yang diinginkan),
maka tidak perlu dengan merayakan maulid. Kerana mengingati Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam boleh dilakukan dengan
berselawat kepada baginda, berdo’a setelah mendengar azan, berselawat
kepada baginda ketika mendengar nama baginda disebut, berdo’a setelah
berwudhu, dan amalan-amalan ibadah lainnya.
Semua
amalan ini adalah amalan yang sifatnya dilaksanakan secara berterusan
(terus-menerus) siang dan malam, bukan hanya sekali setahun. [*]
[*] Di antara sarana
yang mengingatkan kita kepada Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam adalah
dengan membaca dan mengkaji hadis-hadis baginda Shallallahu ‘alaihi
wasallam agar dapat diamalkan. Sehingga orang yang mempelajari
hadis-hadis baginda akan tahu dan faham tentang aqidah, syari’at,
ibadah, akhlak, dan perjuangan baginda dalam menegakkan Islam. Semua
ini akan mendorong dirinya dan orang lain untuk mengamalkan sunnah dan
mengingati Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam.
Bahkan seseorang yang mengamalkan sunnah akan mengingatkan kita tentang peribadi Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam,
seakan-akan baginda berada di depan kita. Adapun orang yang meramaikan
bid’ah maulid, maka mereka tidaklah mengingatkan kita tentang peribadi
baginda Shallallahu‘alaihi wasallam, akan tetapi justeru mengingatkan
kita tentang natal, mengingatkan kita tentang orang-orang bathiniyyah
dan shufiyyah kerana merekalah yang pertama kali melakukan maulid
menurut para ahli sejarah. (ed)
[Rujukan:
Hukmul Ihtifal bil Maulidin Nabawy war Roddu ‘ala man Ajazahu halaman
29-30 karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh]
Ketujuh Belas: Mereka
mengatakan: “Perayaan maulid ini hanya sekadar adat istiadat yang
tidak ada kaitannya dengan agama sehingga tidak boleh dianggap sebagai
bid’ah.”
Bantahan:
Perkataan ini adalah tempat larian terakhir
bagi orang-orang yang membolehkan perayaan maulid setelah seluruh
dalil-dalil mereka digugurkan. Itupun alasan yang mereka katakan ini
adalah alasan yang tidak dapat diterima kerana para pendahulu mereka
yang membolehkan maulid baik dari kalangan ulama mahupun yang bukan
ulama telah menetapkan bahawa perayaan maulid adalah ibadah di sisi
mereka, dan seseorang akan mendapatkan pahala dengannya.
Kelapan Belas: Mereka juga berkata: “Perayaan maulid ini memang adalah bid’ah, tapi dia adalah bid’ah hasanah (yang baik).”
Bantahan:
Jika kalian menganggap perkara tersebut adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), berarti kalian telah menganggap ada amalan ibadah yang baik yang belum diajarkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan tidak diamalkan oleh para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Itu maknanya, kalian menuduh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkhianat, karena beliau tidak menyampaikan satu kebaikan yang kalian kerjakan sekarang ini (Perayaan Maulid Nabi -Pent).
Padahal Rasulullah Sholallahu’Alaihi Wasallam tidak meninggalkan satu kebaikan pun, kecuali beliau telah mengajarkannya. Beliau bersabda (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian pada surga, kecuali sungguh telah aku perintahkan kalian semua dengannya. Dan tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke neraka, kecuali aku telah melarang kalian dengannya.” (Hadits Riwayat Abu Bakar Al Hadad; Syaikh Al Albany telah menghasankannya dalam Ash Shahihah no 2886).
Abu Dzar Al Ghifary Radhiyallahu ‘Anhu berkata (yang artinya), “Sungguh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah meninggalkan kami dan tidak ada satu burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali telah disebutkan kepada kita ilmu tentangnya.” (Hadits Riwayat Ahmad)
Yang demikian karena mengajarkan kebaikan adalah amanah yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan kepada setiap Rasul, sebagaimana diriwayatkan ‘Abdullah Bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya tidak ada satu nabi pun sebelumku, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diketahuinya dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang teleh diketehuinya” (Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Imaraat bab Wujubul wafa’i bi bai’atil khulafa, juz 12/436)
Perhatikan hadits di atas dengan baik. Kita akan dapatkan bahwa hadits ini menerangkan tentang tugas seluruh para Rasul yaitu mengajarkan kebaikan yang diketahuinya dan memperingatkan umat dari kejelekan yang diketahuinya.
Kalau kalian menganggap ada kebaikan lain selain yang diajarkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka ada 2 kemungkinan:
1. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengetahui dan kalian merasa lebih tahu dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
2. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tahu tapi tidak menyampaikannya, ini berarti kalian menuduh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mengkhianati risalah dan tugas para Rasul yang telah disebutkan dalam hadits di atas.
Kedua kemungkinan di atas adalah mustahil, tidak mungkin bagi Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang ma’shum (terjaga dari kesalahan)
Atau apakah kalian merasa lebih baik dari para shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal merekan adalah manusia terbaik seteleh Rasulullah Sholallahiu ‘Alaihi Wasallam. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim)
Kalau acara yang kalian lakukan merupakan kebaikan, niscaya sudah dilakukan oleh generasi-generasi terbaik tersebut. Ingat agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan penambahan maupun pengurangan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artrinya), “Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah kucukupkan kepada kalian nikmatku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Al Maidah: 3).
Ingat, agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan penambahan maupun pengurangan. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari in telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al-Maidah:3)
Maka kebid’ahan yang kalian anggap baik merupakan anggapan bahwa agama ini belum sempurna, hingga perlu penambahan bid’ah-bid’ah baru.
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “….maka wajib atas kalian untuk mengikuit sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan geraham kalian. Dan jauhkanlah dari kalian hal-hal yang baru, karena sesungguhnya semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Kesembilan Belas: Perayaan
maulid ini, walaupun dia adalah bid’ah akan tetapi telah diterima dan
diamalkan oleh umat Islam sejak ratusan tahun yang lalu.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad Mushthofa Asy-Syinqithi.
Bantahan:
Berikut
kami bawakan secara ringkas bantahan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh Rahimahullahu terhadap syubhat ini dari risalah beliau
Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu. Beliau berkata:
“Ada beberapa perkara yang menunjukkan bodohnya orang ini:
Pertama: Bahawasanya umat ini ma’shumah (terpelihara)
untuk bersepakat di atas kesesatan sedangkan bid’ah dalam agama adalah
kesesatan berdasarkan nas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam. Jadi perkataan dia ini, mengharuskan bahawa umat ini telah
bersepakat (untuk membenarkan) perayaan maulid yang dia sendiri telah
mengakuinya sebagai bid’ah.
Kedua: Sesungguhnya berhujjah dengan pengakuan seperti ini untuk menganggap
baik suatu bid’ah, bukanlah warisan para ulama yang hidup di ketiga
zaman keutamaan dan tidak pula orang-orang yang mencontoh mereka, sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Imam Asy-Syathibi Rahimahullahu dalam kitab beliau Al-I’tisham.
Beliau
(Asy-Syathibi) berkata: “Tatkala berbagai bid’ah dan penyimpangan
telah disepakati oleh manusia atasnya (membenarkannya), maka jadilah
orang yang jahil berkata: “Seandainya ini adalah kemungkaran maka tentu
tidak akan dikerjakan oleh manusia.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Iqtidha`: “Barangsiapa
yang berkeyakinan bahawa kebanyakan adat-adat yang menyelisihi sunnah
ini adalah perkara yang disepakati (akan kebolehannya) dengan
berlandaskan bahawa ummat ini telah menyetujuinya dan mereka tidak
mengingkarinya, maka dia telah salah dalam keyakinannya itu.
Sesungguhnya akan terus-menerus ada orang-orang yang melarang dari
seluruh adat-adat yang dimunculkan, yang menyelisihi sunnah.”
Ketiga: Sesuatu
(berupa keterangan) yang akan kami sebutkan dari para ulama kaum
muslimin berupa dipenuhinya perayaan maulid tersebut dengan
perkara-perkara yang diharamkan, serta penjelasan bahawa perayaan
maulid yang tidak mengandung perkara-perkara yang diharamkan maka dia
tetap merupakan bid’ah.”
Kedua Puluh: Mereka juga berdalil dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang (katanya) beliau membolehkan perayaan maulid.
Beliau berkata: “Demikian pula apa yang dimunculkan oleh sebahagian manusia, apakah dalam rangka menandingi Nasrani dalam
perayaan maulid ‘Isa ‘alaihis salam atau karena kecintaan kepada Nabi
Shallallahu‘alaihi wasallam dan mengagungkan baginda. Allah memberikan
pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini, bukan atas
bid’ah-bid’ah berupa menjadikan Maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam
sebagai ‘Aid (perayaan) …” (Lihat Al-Iqtidha` halaman 294)
Di
antara orang yang berdalilkan dengannya adalah Muhammad Musthofa
Al-’Alwy. Dia berkata: “Maka perkataan Syaikhul Islam ini jelas
menunjukkan bolehnya amalan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam
yang bersih dari kemungkaran-kemungkaran yang bercampur dengannya.”
Bantahan:
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh menyatakan (Lihat Mulhaq dari
risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh yang berjudul Hukmul
Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu), “Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Istighatsah: “Suatu
kesalahan, jika timbul dari buruknya pemahaman orang yang mendengar,
bukan kerana kelalaian pembicara, maka tidak mengapa (yakni tidak
berdosa) ke atas pembicara. Tidak dipersyaratkan pada seorang alim jika
dia berbicara harus menjaga jangan sampai ada pendengar yang salah
faham.”
Lagi
pula beliau sendiri telah menegaskan dalam lanjutan ucapan beliau
bahawa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
adalah bid’ah yang mungkar. Adapun mu’alliq (yang memberi komentar)
Al-Iqthidha`, dia berkata: “Bagaimana mungkin mereka memiliki pahala
atas hal ini padahal mereka telah menyelisihi petunjuk Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wasallam dan petunjuk para sahabat baginda.” [*]
[*] (Tambahan – edt): Ucapan lengkap Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
di atas adalah seperti berikut: "Bid'ah yang diadakan oleh sebahagian
orang, baik kerana perbuatan itu menyerupai perbuatan orang Nasrani
dalam mengadakan peringatan kelahiran Isa 'alaihis salam, atau kerana
mengaku cinta kepada Nabi dengan menjadikan hari kelahiran Nabi
sallallahu 'alaihi wasallam sebagai perayaan Maulid walaupun
orang-orang masih memperselisihkan hari kelahiran baginda, maka semua
ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Jika perbuatan ini baik atau
benar nescaya para salaf radiallahu 'anhum lebih berhak untuk
melakukannya daripada kita. Sebab, mereka lebih cinta kepada Nabi
sallallahu 'alaihi wasallam dan lebih mengagungkannya daripada kita.
Mereka lebih semangat dalam mengamalkan kebaikan.
Sebenarnya,
hakikat mencintai dan memuliakan Nabi itu adalah mengikuti dan
mentaatinya, mengikuti perintah dan menghidupkan sunnahnya, baik secara
lahir ataupun yang batin, menyebarkan agamanya dan berjihad dalam
memperjuangkannya, baik itu dengan hati, tangan dan lidah. Semua ini
adalah cara para pendahulu kita yang pertama dari kalangan kaum
Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka." (Iqtidha' Ash-Shirath Al-Mustaqim; 2/615, yang ditahqiq oleh Dr. Nashir Al-Aql)
Keduapuluh Satu: Mereka berkata: “Perayaan
maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak pernah dilakukan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi ia merupakan
syi’ar agama Islam, bukan merupakan bid’ah.”
Bantahan:
Ini menunjukkan kejahilan orang yang mengucapkannya terhadap syari’at Islam,
maka apakah orang yang seperti ini layak untuk berkomentar dalam agama
Allah?! Orang ini telah membezakan antara agama dan syi’ar agama
padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Maksudnya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan syi’ar agama sebagai lambang dari katakwaan hati yang merupakan kewajiban.
Maka apakah setelah ini, masih ada orang yang mengaku faham agama yang
mengatakan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja
meninggalkan syi’ar agama (menurut sangkaan mereka) yang satu ini
(maulid)?!
Kerana
ucapan ini mengharuskan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
sengaja meninggalkan sebuah ketaatan yang merupakan kewajiban (Dan
meninggalkan ketaatan yang merupakan kewajiban dengan sengaja adalah
dosa besar), padahal para ulama telah bersepakat bahawa para Nabi terjaga (maksum) dari dosa besar.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata dalam Fathul Bari (8/69): “Para nabi maksum dari dosa-dosa besar berdasarkan ijmak” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah (1/472) karya Ibnu Taimiyah).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata dalam Fathul Bari (8/69): “Para nabi maksum dari dosa-dosa besar berdasarkan ijmak” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah (1/472) karya Ibnu Taimiyah).
Keduapuluh Dua: Di antara dalil mereka adalah bahawa tidak ada satupun dalil yang tegas dan jelas melarang mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bantahan:
Sebenarnya
dalil semacam ini tidak layak kami sebutkan, kerana dalil ini
hakikatnya sudah lebih dahulu patah sebelum dipatahkan. Akan tetapi
yang sangat disayangkan, dalil ini masih juga diucapkan oleh sebahagian
orang yang mengaku berilmu yang dengannya dia menyesatkan manusia dari
jalan Allah.
Kami tidak akan menjawab dalil ini sampai mereka menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:
(1) Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas dan jelas yang melarang dari narkoba dengan semua jenisnya!.
(2)
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas dan jelas yang mengharamkan
praktik-praktik perjudian kontemporer, seperti undian berhadiah melalui
telepon, SMS, dan selainnya!
(3)
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan
haramnya kaum muslimin menghadiri natal dan perayaan kekafiran lainnya!
Mereka tidak akan mendapatkan satu pun dalil tentangnya -walaupun mereka bersatu untuk mencarinya- kecuali dalil-dalil umum yang melarang dari semua amalan di atas dan yang sepertinya. Dan ketiga-tiga perkara di atas, hanya orang yang bodoh tentang agama yang menyatakan halal dan harusnya.
Maka demikian halnya perayaan maulid. Betul, tidak
ada dalil yang tegas dan jelas yang melarangnya, akan tetapi dia tetap
merupakan bid’ah dan keharaman berdasarkan dalil-dalil umum yang
sangat banyak berkenaan larangan berbuat bid’ah dalam agama,
berkenaan dengan larangan menyerupai dan mengikuti orang-orang kafir,
berkenaan dengan …, berkenaan dengan …, dan seterusnya dari
perkara-perkara haram yang terjadi sepanjang pelaksanaan maulid.
Wallahul Musta’an.
Oleh: Al-Ustaz Hammad Abu Muawiyah
0 comments:
Post a Comment